• Home
  • About
  • Puisi
  • Pendapat
  • Cerita Aneh
instagram Email

Pangeran Kucing

Jurnal Harian dan Kata-kata Bualan


Hidup di dalam standar yang dibuat oleh orang lain membuat kamu terus lari jauh. Berusaha mencapai garis finish yang sebenaranya kamu sendiri ngga tahu, seberapa jauhnya. Atau mungkin garis finish memang ngga pernah ada. Hanya delusi yang dibuat-buat sendiri. Tapi semua orang bersorak, menyuruh terus berlari. Ada yang meraung-raung pakai toa, ada yang melengking pakai peluit. Naasnya, kamu anggap mereka seperti bahan bakar agar terus berlari. 

Ukurannya pakai angka dan pujian. Batasan upah gaji yang disebut-sebut makmur jika telah mencapai angka sekian. Pujian betapa mempesona dan menariknya paras dan tubuh kamu. Jumlah pengujung dan komentator media sosial. Semuanya seakan menjadi dukun dan kamu boneka fudunya. Perut ditusuk, ikut sakit. Kepala dicubit, ikut pusing. Persis juga seperti pesirkus dan budak singanya. 

Sekali-kali beranikan diri membuat secarik kertas berisi tujuan dan standar hidup sendiri. Tuan hidup kamu, ya siapa lagi. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Pertanyaan ayam dulu baru telur atau telur dulu baru ayam sudah tercetus lama sekali, saat kita besarnya masih seukuran anak ayam pula.

Tapi ayam-ayam, baik betina atau jantan tidak pernah pusing mikirin siapa yang duluan muncul. Karena bagi mereka, pertanyaan satu jam lagi masih hidup atau engga, atau sudah jadi opor atau sudah hangat di bakaran, jauh lebih penting ketimbang pertanyaan-pertanyaan filosofis macam itu.

Berbeda dengan manusia yang suka ber-retorika. Ayam saja dipertanyakan apalagi diri mereka sendiri yang rumit dan susah ditebak. Uniknya, mereka sok-sokan menebak: otak diisi pikiran sebelum jalan, atau otak boleh berpikir sambil jalan? 

Para ayam silakan meninggalkan jejak komentar

Hailnya, manusia itu tetap di dalam atap rumah tak kemana-mana. Sama seperti otaknya yang masih kosong. Kalau malam sedang pekat dan tidak sedang padang bulan, kamu bisa melihat gelembung-gelembung warna putih keluar dari corong asap atapnya. Itu namanya angan-angan palsu.

Sampai pertanyaan ayam sudah terjawab, "ayam dulu" kata pakar-pakar yang pandai.  

Pasalnya, kala itu saya yang tengah bingung tak kunjung keluar dari dunia perkampusan, bukan karena ketidakmampuan menyelesaikan studi. Namun, ada juga ketakutan dan ketidaktahuan mau jadi apa. Satu-satunya yang diyakini yaitu ingin jadi penulis. Padahal saya tidak sadar, sejak kecil sudah jadi penulis. Tulisan ini juga hasil karya penulis, bukan? Cita-cita saya tampaknya sudah terkabul sejak dini. Selamat! 

Jelas yang dimaksud bukan cita-cita yang ngasih makan jiwa saja, tapi ngasih makan lambung, usus dua belas jari, usus halus, usus besar, an-, apakah anus juga harus diberi makan? Hm.

Saya yang mungkin terlalu ingin cepat dewasa dan menginginkan kesalahan yang nihil, dan lupa bahwa perasaan dan pertimbangan yang nantinya akan ditentukan setelah selesai dikerjakan. Nyaman atau tidak, cocok atau tidak, dibangun dari pengalaman yang pernah dan pengetahuan yang sudah. 

Rasakan tanahnya bergelombang atau datar, rumputnya kasar atau lembek, atapnya kering atau lembab, kantinnya lezat atau basi, mesinnya bising atau lembut, tungkunya panas atau terlalu membara. Rasakan kehadiran manusianya, apakah sesuai yang diinginkan atau tidak. Sesederhana itu.  
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Kadang benteng yang awalnya dibangun untuk melindungi, justru akhirnya akan mengukung dan membuat orang di dalamnya ngga kemana-mana. Persis kayak kehidupan Rapunzel, tapi untung dia punya rambut yang panjang jadi bisa kabur. 

Segalanya dianggap akan aman-aman saja. Di dalam atap rumah yang berbatas teras paling depan dan kamar mandi paling belakang. 24 jam dan seluruh menit detiknya lengkap dihabiskan disana. Perlahan ia poles dindin-dinding dengan semen tebal, lalu keramik-keramik mahal penuh kilau. Selama bertahun-tahun.

Tapi siapa yang tahu, terpapar silau bikin mata sakit, tulang-tulang ngilu, dan dibandingkan manusia seusianya, ia tak pernah tumbuh tinggi. Perlahan menjelma menjadi liliput.

Ada gumpalan awan hitam di atas kepala mereka yang tak kemana-mana. Setidaknya itu kejadian yang terkonfirmasi secara berulang di hidup saya. Perspektif harus digali dari mulut pedas orang lain, sampai mulut manis malaikat. Cerita harus diketahui dari palung paling dalam sampai gunung paling tinggi.

Bukan begitu? 



Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Apa salahnya bergumam, mengumpat, menyumpah dalam hati? Toh, tidak ada yang peduli. Kecuali semesta yang curang, menguping diam-diam. 

Sejatinya, pikiran bukan tempat persembunyian paling aman. Radarnya masih bisa sampai ke telinga alam semesta dan keluhan yang waktu itu saya utarakan kabul sudah, dengan cara yang tak diinginkan. Doanya, kurang lengkap. Kata orang-orang yang pernah mendengar kisah ini. Tapi, tak akan saya jabarjujurkan. 

Cerita tersamarkan

Hujan yang harusnya disyukuri menjadi letupan keluhan yang tenang hanya jika saat ada matahari. Sumpah serapah diteriakkan, namun alhasil hanya didengar oleh paru, ginjal, hati, hipotalamus, dan gendang telinga itu sendiri. Menggema suaranya dalam rongga-rongga badan. 

Tentang mengapa harus turun air dari langit yang membuat bajunya kuyup, sepatunya lembek, orang-orang melihatnya seperti gorengan setelah duabelasjam -letoi-. Dan pekerjaan dengan upah yang tak seberapa, atasan marah-marah, spidol habis dan ia harus membeli dengan uang pribadi. Juga mengapa kucingnya setiap hari harus makan sehingga mengurangi uang dari dompetnya sebesar limapuluhribu.

Ah, iya. Ia lupa menghubungi rekanan yang tak sabar menerima kabar. Kemudian diambil sebatang alatkomunikasi yang mulai berembun tapi masih rigid. Ditombol-tombol dan tak lama kemudian berkedip seperti bukti napas terakhir. Konslet.  

Di waktu-waktu lalu

Melihat pekarangan tetangga yang hijau dan ia yang tak punya pekarangan selain limapulusenti jarak rumahnya dengan jalan raya, berbatas tanah berdebu tempat kucing biasa menaruh tahi. Ingin rasanya menghubungi pejabat yang digaji uang pajak, mengadu mengapa hidup manusia bisa berbeda-beda padahal sama-sama rakyatnya negara. Tapi ia lupa, sebatang alatkomunikasi milikmya tak layak menjangkau jaring sinyal kalangan elit.

Lalu saksikan miliknya yang ketinggalan jaman dan mulai berkhayal-khayal tentang andai bentukannya baru, andai kekinian, andai bukan ini, andai itu. Andai-andai diam yang sering.

Amin, kata semesta. 


 




Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebuah siang yang terik dalam angan-anganku yang pekat. Kota ini sebentar lagi akan mati digulum takdir. Sama seperti rencana Puan yang ingin membunuh keinginan -dalam memiliki Tuan sepenuhnya-. 

Ranjau dimana-mana, bom yang berusaha dijinakkan dan pikiran yang masih liar berdansa diantara ketidakmungkinan-ketidakmungkinan. 

Sampai suatu waktu dentuman menggelegar berkali-kali lalu membangunkan kening Puan yang mati suri akibat ditembak senapan yang kosong peluru penuh memoar. Tidak tewas dan hidup enggan. 

Kota sudah habis tutup tanggal gulung tikar. Serangga yang tinggal dalam saluran pembuangan muncul berbaris merayakan kemenangan dan kebebasan dari penindasan. Mereka berbisik kepada Puan yang ajaib masih bertahan, apa Tuan sudah mati? 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Planta, Árbol, Naturaleza, Línea Arte, Diluvio, Cráneo

Mengapa badainya tak kunjung selesai? 

Senjata mulia yang hanya diperuntukkan bagi Raja dan kaum bangsawannya. Terlarang bagi kaum Sudra dan rakyat jelata lainnya. Jikalau saya hidup berabad-abad silam dari zaman -tiktok- ini, maka alangkah suatu kemustahilan pun hanya memandang keris keluar dari sandangan, apalagi menyentuhnya. Asumsi: jenis golongan kaum saya saat ini dan waktu yang lalu tak jauh beda. Eh, siapa tahu bisa jadi dahulu  saya anak raja atau elit istana. 

Keris yang dikenal sakti bukan semata-mata didapatkan dari besi rongsokan atau sembarangan hasil penggalan logam tua. Bayangkan, bahannya diramu dari besi pilihan terbaik bahkan desas-desusnya berasal dari besi meteor yang sering dilihat di langit lalu jatuh ke tanah bumi. Pande bilang, tak heran jika corak dan liuknya menawan, seetiap detilnya magis. Konon, ketika kau panggil tuan pemilik senjata hunus lainnya, sebut saja samurai dan pedang, tak akan bisa menyamai kekuatan keris dengan segala kemasyhurannya. 

Mari belajar dari keris

Tentang hantaman palu godam yang bertalu-talu dan jilatan api yang membara. Tumpukan batang besi sebanyak delapanpuluh keping itu dimampatkan menjadi satu lapis berliuk-liuk ganjil. Bukan sehari dua hari para pande mengerahkan bisepnya tapi berbulan-bulan, adapula yang hampir genap satu tahun. Terus dipukul, diperapikan suhu tinggi, dipukul lagi, panaskan lagi, ditambah keping besinya, dipanggang, dihantam lagi, begitu seterusnya sampai lahir sebuah keris yang indah.

Kau bukan keris begitu juga saya. Tapi seperti orang belajar dari sebuah tong yang nyaring bunyinya dan sekumpulan air yang jika beriak maka tandanya tak dalam, rasanya sah-sah saja jika mengambil intisari keris untuk melecut usaha kau yang tak seberapa, padahal ingin menjadi lebih dari apa-apa. Badai masalah yang saat ini melilit badan dan tulang bisa jadi bentuk godam. Juga dunia yang tak nyaman sekarang merupakan sebuah tungku perapian yang membakar.

Terus jalan, sebentar lagi kau akan jadi keris. Bertahanlah. 

Tercetuslah ide tulisan ini setelah menyaksikan video Pandji dengan segala bentuk optimismenya. 




Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Cuento De Hadas, Noche, Pintura, Niña, Insectos, Sueño
Pada salah satu malam yang murung.

Kalau tak bisa mendatangkan dia dalam kehidupan nyata, setidaknya hal yang membuat bahagia adalah mengumpulkan bayangannya ke dalam imaji. Menyusun tabiat aselinya ditambah hal-hal menyenangkan lain yang ingin dilihat. Misalnya, saya tak suka cara dia berfirasat lalu ubah-ubah menjadi manusia yang punya standar peka biasa saja. Saya suka matanya yang teduh dan menenangkan, lalu biarkan demikian sebab matanya mengundang pandang dalam-dalam. Sampai hanyut sejauh ini menyeret saya dalam khayalan berhari-hari.

Dengan senang hati dia menemani duduk di salah satu bangku taman di depan patung penguin raksasa bermata besar melihat ke arah kami. Saya bercerita tentang hari panjang melelahkan, kantung mata yang semakin cembung, kopi hitam yang bikin susah tidur, sampai caranya menabung agar bisa membeli rumah. Tapi dia bilang, tak usah. Biar urusan tempat tinggal dipikul tanggung jawab di atas pundaknya. Urat-urat warna biru di tangan saya sudah membengkak bekerja telalu padat seperti selang yang bantat.  

Patung penguin raksasa bermata hitam memandangi bangku taman yang kosong. 

Hari ini tanggal seratusempat. Dia memberi hadiah biji bunga mawar yang keriput karena dibungkus dalam kotak yang dikirim tukang barang lama sekali. Terkoyak-koyak saat menumpang di mobil dan dibanting saat diambil tapi tidak apa-apa langsung saya tanam di pekarangan depan. Dulunya itu tanah lapang yang sering dipakai bocah laki-laki main sepak bola. Senang saya punya alasan agar mereka tak lagi kesana -kelak ketika pohon mawar melangit- membuat debu-debu terbang dan mengotori kaca rumah berwarna bening, saya harus mengelap setiap hari sambil tetap memikirkan dia. 

Tanggal limaratusempat bocah laki-laki masih rutin main bola di pekarangan.

Saya punya inisiatif menghanyutkan diri ke sungai berarus deras. Ingin buktikan saja seberapa besar dia cinta, apakah pengorbannya sama seperti Romeo kepada Juliet atau Rahwana kepada Sinta. Kata-kata manisnya suka saya rekam rapih dan dihias pita. Kalau sewaktu-waktu rindu nanti bisa dibuka untuk mengenang. Prasangka semakin beranakpinak di dalam kepala dan terus subur. Saya tenggelamkan seluruh tubuh dengan gembira sambil menghitung detik, jam, setengah hari, seluruh hari, raib. Naiklah nyawa ke langit. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Rana, Jardín, La Naturaleza, Figura, Decoración, Deco

Katak suka bingung geleng-geleng kepala kalau sudah malam tak ada orang. 

Saat katak berkelana melompati tanah-tanah dan berenang membelah gelombang. Manakah yang lebih nikmat dan menentramkan hati. Tidakkah lebih baik memilih menetap di salah satunya. Malu dilihat tetangga, apa nanti kata mereka. Sebentar-sebentar tenggelam, lalu besoknya sudah asyik ke daratan mental-mental kegirangan. 

Tanpa dimintai pendapat, sahabat dekatnya, siput yang lamban tapi suka pamer berkata: bukankah lebih enak seperti aku yang setia membawa rumah kemana-mana, tinggal sembunyi kalau hujan, merunduk kalau panas. Kau mau? Aku coba carikan ke rekan-rekan yang sudah mati. 

Ding dong.

Apa bedanya dengan ia yang suka berlanglang buana di dua kota. Naik kereta api yang makan jam lebih dari satuperdua hari. Tapi terus saja dilakoni setiap enam bulan sekali. Melewati kota metropolitan, kampung padat penduduk, sawah bekas panen, aroma kulit padi yang terbakar, lalu pelukan orang yang disayang. 

Bagaimana bisa harus meninggalkan salah satunya sebab setiap sudut kota -yang akan tak lagi dihuni- berbicara tentang kisah masing-masing. Dan hujan yang sudah meresap ke dalam tanah hidup lagi menyampaikan kesaksian, bahwa pernah ada manuisa disini pagi-pagi sekali pusing tujuh keliling mencetak lembaran tugas mahasiswa, lari-lari karena sudah sering malu terlambat, melewati lorong-lorong orang yang sama terburu-burunya.

Juga tak pernah lupa tentang bagaimana menyenangkan berkenalan dengan banyak kepala, isi pikirannya, dan (hal yang harus dibungkam agar tak diketahui).

Jadi, katak pilih hidup dimana?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Mengapa setiap hari harus berkirim surat? 

Semua orang tahu tukang pos yang suka pakai jaket warna oranye tak akan lagi datang membuka kotak surat karatan kau di depan rumah. Sebaiknya ambil cangkul dan kikis tanah pekarangan kau dalam-dalam. Cabut batang kayu kotak suratnya lalu lempar ke tempat sampah besar di ujung jalan. Berdoalah semoga banjir datang -tapi minta agar rumah kau dikecualikan- dan menghanyutkannya. Supaya tak lagi kau ingat-ingat betapa lelah menyampaikan pesan dalam surat.

Mengapa setiap hari harus berkirim surat?

Kau tulis dengan halus dan penuh kasih sayang nama penerima di kepala surat. Berharap ia bisa membaca dengan penuh penghormatan kepada kau yang tulus menulisnya. Hurufnya tegak bersambung karena namanya diharapkan mampu menautkan urat hidup kau sekarang. Dan berterimakasihlah kepada guru Sekolah Dasar yang berbaik hati mengajarkannya juga memberi kau nilai-nilai bagus. Meskipun sekarang kau sadar, apa guna nilai kalau surat-surat kau tak sampai?

Mengapa setiap hari harus berkirim surat?

Puja dan puji dihantarkan seperti sanjungan untuk kepala, sultan, dan para raja di tempat. Doa masih terus dipanjatkan ke langit karena kau manusia yang masih ingat Tuhan. Kau juga tak lupa meminta merpati yang baik agar bisa diandalkan mengantar surat kau berjumlah ratusan lembar. Mestinya sudah kau tulis satu buah buku dan jual ke pedagang eceran (pedagang besar jelas tidak peduli, jangan berhalusisnasi). 

Perut saya bergetar-getar menahan tawa, sampai kapan kau terus berkirim surat? 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Cappuccino cangkir kuning  

Momen yang menyenangkan itu bernama, menepi, di pojok tempat kopi. Meskipun di depan ada lembaran skripsi yang meminta haknya untuk segera diluluskan, tapi cangkir kuning -berisi mungkin 200 mL kopi, susu, dan krim- ini  adalah teman baik, selain kawan yang mengajak saya berkunjung kesini.

Di depan meja ada akuarium raksasa berisi manusia lengkap dengan tumbuhan-tumbuhan pendukungnya. Saya menyaksikan bibir yang komat kamit tanpa suara. Mereka duduk menikmati secangkir kopi miliknya sambil membicarakan bisnis, mengerjakan tugas kuliah, atau sekadar curhat. Ada beberapa pula yang mulutnya penuh asap. 

Sama seperti kedai kopi lain, musik membersamai pengunjung menikmati cangkir mereka. Dan saya masih ingat salah satunya, Memories-Maroon 5. 

Lemon Tea rasa asam

Terimakasih telah menjadi kedai kopi yang tak curang, minuman ini benar lemon yang asam. Ah, tapi ternyata saya yang curang. Harusnya tulisan ini hanya berisi Kompilasi Kopi Skripsi. Tunggu dengar dulu, minuman ini pantas diakui kemasyhurannya karena tak lain tak bukan, favorit mahasiswa, aman di kantong, nyaman di dompet: murah. Jadi alangkah baiknya ia diberikan panggung juga. 

Saya takkan sebutkan berapa nominal harga, kau bisa cari tempat jualnya dimana kawan saya yang lain  sering minta dijemput bapaknya sehabis pulang kuliah.

Double Espresso tanpa gula

Entah ada angin apa, saya memesan secangkir kecil Double Espresso bonus segelas air putih dan satu sachet gula - yang tak dipakai -. Mungkin ini Double Espresso pertama dan terakhir yang saya pesan sebab kapok karena pahitnya sampai ulu hati ternyata. Malamnya, lambung mengirim pesan ke otak agar tak boleh tidur semalaman. Alhasil, kompromi mereka berhasil. Saya terjaga sambil terus merutuki kenapa sampai bisa pesan kopi jenis ini. Esok hari saya keluar kamar persis seperti zombos (red: zombie).

Tapi ini bukan kopi jahat, mungkin syaraf kantuk saya yang terlalu terbawa perasaan. Lain kali, kau bisa mencobanya untuk menghadapi malam yang panjang saat mengerjakan tugas, begadang nonton bola, atau maraton nonton Netflix dan drama korea.

Vanilla Regal samping kosan

Kedai kopi yang menyenangkan hanya selemparan batu dari kosan. Kalau Bogor hujan dan saya malas keluar, tempat ini jadi pilihan terakhir yang tak pernah membosankan. Regalnya selalu saya tunggui sampai melunak persis seperti kebiasaan masa kecil yang doyan mencelupkan biskuit macam oreo atau regal begini ke dalam air putih bening, kalau tak beruntung mendapatkan susu. Selain itu, saya juga mengasihani gigi yang kaget akibat ekspektasi lembut vanila yang dipatahkan oleh kering regal jika tak ditenggelamkan lama.

Tempat duduk dengan sandaran punggung adalah incaran favorit yang jarang didapatkan sebab anak muda suka sekali nongkrong di sini dan tambah ramai kalau jam sudah dipukul oleh 9. 

Kopi Saya lupa namanya

Namanya benar-benar lupa. Tapi yang menarik bahwa saya tak menipu saat bilang ini Kompilasi Kopi Skripsi. Setidaknya, itu di dalam layar laptop -lama yang sangat dicintai dan kini sudah mati- ada kotak tabel analisis hasil penelitian yang rumit sampai harus diulangi pengambilan datanya sebanyak dua kali.Esoknya, saya kembali dengan tanda tanya ke dalam laboratorium lalu bertemu dan tukar sapa lagi dengan asam, titrasi, kertas lemak, dan teman-temannya.

Skripsi saat itu meminta banyak waktu dalam hidup yang terkadang disesali kenapa bisa lama sekali, tapi kadang juga diwajarkan sebab siapa suruh saya pilih produk inovasi, preliminari, yang sumbernya saja masih minim sekali.

Bagaimanapun juga pada akhirnya, seperti bayi, saya mengasih sayangi produk hasil skripsi yang sudah ditunggu kelahirannya sejak lama. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Soap Bubble, Colorful, Ball, Soapy Water
 Twit Aan Mansyur, "Kemarin saya baca twit, kira-kira bilang: ini bukan Agustus, ini masih Maret, tanggal 150 sekian." 

Iya, masih maret. Saya baru selesai sidang. 

Seperti dibonceng Bapak di bagian motor depan. Mulut saya menganga. Semua angin masuk, perut kembung. Sudah 4 bulan saya masuk angin. 

Bulan yang panjang,  meskipun malam ini bulan purnama tak bersegi dan bulat. Warnanya keemasan. Saya selalu menyebutnya benda magis, antara ada dan tiada. Apakah pernah kau berpikir bahwa bulan mungkin hasil konspirasi dari kehampaan langit dan pekat yang berlebihan. 

Kembali lagi: 4 bulan yang panjang. Keluar dari rutinitas kampus harian, hibernasi bermusim-musim. Teman-teman hanya sebatas huruf-huruf dan suara singkat di dunia maya. Virus corona yang datang gantian di dunia nyata (corona selalu jadi kambing hitam). 

Seperti masuk angin, usus saya menyerap benda tak bergizi. Lalu harus makan apa? 


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Night, Cosmos, Fairy Tale, Fish, Girl, Painting, Sleep
Melek sampai pagi enggak keren. 

Setelah menyaksikan BukaTalk nya Fellexandro Ruby tentang Things I Wish I Knew When I Was Twenty, salah satu poin nya adalah "Gue harus Jaga Kesehatan".

Badan lama-lama dimakan waktu. Kalau sudah masanya, nanti lapuk juga. Tapi mumpung umur kau masih 20an, ada baiknya nasehat-nasehat itu dipikirkan matang-matang. Timbang baik buruknya dan laksanakan dengan setia sampai suatu ketika ada seorang kakek atau nenek berkata, makasih ya udah jaga badan saya. 


Notes  

Juga perhatikan begadang yang ngga menghasilkan apa-apa. Cuma daydreaming sampai pagi memikirkan ketidakmungkinan, ketidakpastian, kesia-siaan. Alamak, manusia ini maunya apa. Kalau alam semesta bisa bicara seluruh umpatan sudah dinuntahkan. 

Seakan-akan kemudaan akan terus bertahan. Bisa, kalau kau punya anak perempuan yang terkurung di dalam kastil tinggi berambut keemasan menjuntai panjang. Cuma usap-usap dan menyanyi sedikit-sedikit, wajah dan badan yang kendur-kendur akan mengencang seperti ditarik benang. Sayangnya, kau cuma rakyat jelata. Ibu Rapunzel pun akhirnya bernasib tragis. 

Kata orang, terjaga sampai pagi hari adalah bentuk hustling yang paling keras. Bukan, itu adalah bentuk keputusan yang paling bodoh. Masih ada sisa waktu pagi, siang, sore, dan sebagian kecil malam yang bisa digunakan berkarya, berusaha sebaik-baiknya demi ambisi atau pencapaian yang kau inginkan sesuai dengan bucket list impian. 

Jangan contoh juga Cinderella yang baru pulang saat suara besar lonceng jam digaungkan. Boro-boro tidur, habis itu dia masih harus bersih-bersih, cuci muka, berandai-andai tentang pangeran. 

Bilang baik-baik ke badan, plis malam ini tidur sebelum jam 12 ya. Demi kebaikan kita. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Fairy Tale, Night, Girl, Fish, Sky, Bird, Fly, Flight
Yang sering dilupakan adalah kau sedang berpijak dimana.

Sudah cukupkan halusinasi yang terlalu membumbung tinggi. Kembalilah dari langit, mari kembali ke bumi. Di bumi, ada banyak hal yang kau tinggalkan berserakan tak terselesaikan. Di bumi, masih banyak manusia yang menunggu kedatangan kau. Kau masih sama, akan disambut mesra bak pahlawan yang pulang dari perang. Disini kau bisa temukan banyak hal.

Tak usah melulu pergi ke langit. Mencari malaikat yang menurut kau lebih mulia karena bersinar dan punya sayap. Tapi mereka tak mampu bermain gundu, seperti kawan-kawan yang tinggal di belakang rumah kau. Mereka tak bisa diajak ke rumah makan padang bercengkerama sambil makan rendang. Pulanglah.

Meskipun atap rumah kau berasal dari tanah yang dibakar, bukan bentuk gumpalan awan yang cemerlang. Dengannya, kau bisa mencium aroma tanah basah bekas hujan. Yang sering memeluk kau diam-diam ketika kangen dengan seseorang. Yang membuat upil di hidung kau bungah.

Tak usah khawatir karena pada akhirnya langit kelak juga akan jadi tempat kau menuju. Ketika masa di bumi telah habis. Akan ada anak tangga atau semacamnya yang menuntun kau kesana, tak sekadar bertemu malaikat. Tapi juga bertemu Tuhan Yang Maha Esa. Suatu saat nanti. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Fairy Tale, Night, Flower, Girl, Star, Sleep, DreamMenjadi pesimistis adalah nama belakang yang paling suram. Lebih dari mati.

Sudah lama, kata saya. Terkurung di dalam kotak yang apak dan dipenuhi hantu-hantu. Mereka tidak seram, tetapi setiap hari mengambil jiwa saya yang merdeka. Saya semakin keriput seiring waktu berlalu. Di ujung usia, akan ada seseorang yang menemukan sebagai saya biji asam warna cokelat yang kering dan ciut. 

Sudah lama, kata saya. Menakuti diri sendiri dengan narasi-narasi zaman lama. Tentang orang-orang yang khawatir ditodong senjata. Mereka hanya berpikir bagaimana cara hidup hari ini. Agar keningnya tak pecah ditembak mati. Tetapi naasnya, nyali kau yang pecah belah jadi sampah. 

Sudah lama, kata saya. Mengatupkan bibir dengan perekat mahadahsyat. Suara adalah sandung yang membebat. Sekali saja membuka mulut, habis nyawa melayang ke udara. Jadi telan saja pahit-pahit segala yang ada di kepala. Nikmat kau tenggak racunnya. 

Sudah lama. Bukankah sudah saatnya berbaik sangka. Kepada Tuhan dan rencana-Nya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Fairy Tale, Fantasy, Dream, Night, Cosmos, Astronaut
Diam membuat bisikan-bisikan jauh lebih terdengar. Jadi simak baik-baik momen ini. 

Setelah membuka pintu - rumah yang terlihat baik-baik saja - di balik nya ada setumpuk sampah basah, debu pekat, dan pecahan kaca. Siapapun akan kaget ketika melongok di dalamnya. Rumah itu tak pernah dibuka. Sama seperti bagian bawah alam sadar kau yang terkena represi dari sebuah persembunyian kalimat baik-baik saja.

Begini ceritanya, beberapa hari lalu saya menyaksikan video Satu Persen. Cuma satu persen, tapi efeknya hampir penuh seratus persen. Narator menjelaskan dengan suaranya yang enak didengar tentang kesehatan mental akibat rasa cemas yang ditekan agar tak menjadi ketakutan.

Saya merayakan persetujuan-demi persetujuan dari sabda narator tersebut. Seperti menemukan kemungkinan sebab dan kewaspadaan gaya santai dan tenang saya. Yang tak pernah disadari, apa benar hidup saya se stabil itu?

Prokastinasi Kronis

Menjadi prokastinator selalu mencari pembenaran dan ogah disalahkan. Semua bisa dilakukan serba mendadak, maha cepat, dan selesai. Tapi yang dilupa, spektrum selesai ada banyak wajahnya: selesai dengan puas atau selesai lah kewajiban ini. Tak mengejar kualitas terbaik, asal selesai ala kadar. Tangan prokastinator membawa bom waktu yang mampu memecah belah kulitnya menjadi serpih-serpih. Bom waktu yang semakin ganas dari waktu ke waktu. 

Tabiat tetaplah menjadi tabiat. Prokasinator belajar banyak dari pemuda tukang bual dan tukang bohong, mereka menyesal dengan janji perbaikan diri. Kau lihat keesokan hari, janji itu seakan menguap hilang dihisap alam semesta. Bom waktu meledak lagi. Penyesalan lagi. Begitu saja terus sampai hari kiamat. 

Bad Planner

Waktu memang suka ngajak becanda. Mengatur waktu di pikiran sama saja melepas anak ayam, ya cuma awang-awang. Waktu punya kaki-kaki yang harus ditegakkan berdiri di atas papan jadwal, google calender, time apps, atau apa saja yang bisa mengurungnya tak kemana-mana. Semoga nanti tak ada lagi keheranan ketika malam hari, loh kok sudah jam segini. 

Perkara aturan waktu sudah sering disinggung motivator tangis menangis sejak SMA, masa iya masih susah juga. Pelan-pelan susun anak waktu dari mulai yang besar dulu, per periode bulan, minggu, hari, jam. Kotak-kotak itu bukan fungsinya mengekang seperti jeruji pesakitan tapi mengembalikan tanggungjawab kepada tuannya dan Tuhannya.


Satu Persen membantu kembali menginjak bumi dan sadar sedang berada dimana. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
People, Cartoon, Social Distance

Banyak usaha yang belum ada hasilnya. Atau sampai akhir memang ngga ada hasilnya.

Dada saya mengembang saat menyaksikan 1 Hari 1000 Pesan nya Haris Azhar. Beliau bilang dengan gaya tenang dan penuh pertimbangan, "Saya orang yang percaya sama proses. Saya orang yang bukan hanya percaya, tapi kadang-kadang hasil tuh ngga dapet. Tapi proses jauh lebih penting." 

Memperjuangkan hukum di Indonesia butuh daging dan darah-darah. Kalau Haris Azhar cuma percaya sama hasil, dan usaha yang tak berujung adalah upaya yang sia-sia, sangat mungkin jika beliau angkat tangan dan bersih-bersih meja dari kasus penanganan hukum pertamanya. 

Beberapa hari lalu, saya dan teman saya bertemu. Kami berbicara tanpa garis dan benang merah. Melontarkan pertanyaan dan jawaban apa saja. Kami tak punya simpulan dan saran seperti catatan akhir skripsi mahasiswa. Saya yakin dia juga tak lega dengan pembicaraan kami yang berakhir di awang-awang. 

Lebih banyak kami membicarakan mimpi, yang terkadang terdengar seperti halusinasi memuakkan. Tapi kalau tak bermimpi, hidup ngga ada bedanya sama benda mati. Sudah lama mimpi kami eram seperti telur. Sampai sekarang justru bertanya-tanya, apakah akhirnya hanya akan menjadi bunga tidur.

Kami seharusnya sadar sedang berada pada proses. Mencoba menghargai dan menjalani sepenuh hati, sama seperti Haris Azhar.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Marriage, Celebration, People, Person, Wedding, Love

Pada akhirnya, yang tahu kapan waktu yang tepat, ya cuma kamu.

Tagar #nikah atau #gabungannamaduaorangyangudahnikah sering sekali muncul di feed Instagram kau yang berumur 25 dan sekitarnya. Artis idola dan teman-teman sejawat sedang asyik merayakan hari bahagianya. Dan saat itu terjadi, seolah-olah kau orang yang paling menderita di atas muka bumi karena masih sendiri. Memeluk kedua belah lutut di bawah hujan-hujan. 

Mereka tampan dan cantik dengan setelan yang gagah dan gaun yang anggun. Tersenyum ceria di atas panggung bunga-bunga, didatangi hadai taulan, sanak keluarga, karib baru dan lama. Sedangkan, kau hanya penghuni dunia maya bersembunyi di balik layar handphone. Ikut tertawa tapi tak lama, bibir kau yang lama-lama turun melengkung membentuk setengah lingkaran. Dalam hati mengaduh, aku kapan ya? 

Semoga ini bukan cerita kau. Sudah diusahakan tak menyentuh Instagram. Simbol kotak warna ungu itu sudah diasingkan jauh-jauh dari layar utama. Diletakkan di usapan layar kesekian. Atau jika kau tega hati, sudah kau hapus aplikasi yang dulu sehari bisa puluhan kali dikunjungi. Aman. Berita resepsi tak akan muncul lagi berjoged-joged di depan kau. Tapi tiba-tiba..

Paman dan tante kau yang rumahnya jauh sekali. Setahun belum pasti berkunjung, kali ini tiada angin tiada hujan lancar jalannya menuju rumah kau. Bertanya ini itu, bagaimana kabar orang tua, dan kabar kau juga. Sampai pada pertanyaan basa-basi, yang ini kapan nikah? Jari telunjuknya tepat di hadapan wajah kau yang sudah malas sekali meladeni omongannya.

Ini bukan kisah pribadi. Bukan.

*bersambung. dan disambung kapan-kapan. 


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Court, Jury, Debate, Lawyer, Legal, Justice, Law, Judge

Tiba-tiba saya diminta menjadi hakim untuk mengadili kasus saya sendiri. Lucu, saya jadi bingung sekaligus senang. Bisa dimenangkan dengan mudah artinya. Saya tak perlu melakukan pembelaan, merayu hati jaksa penuntut umum. Saya bisa melenggang bebas dari jeruji besi, tak perlu masuk bui dan tersiksa.

Tapi setelah dipikir-pikir, saya terlalu pongah sebagai manusia. Merasa semua akan baik-baik saja. Padahal mengadili kasus sendiri justru rumit. Kau harus melakukannya sendirian. Tanpa pengacara, tanpa rekan-rekan. Tidak ada dukungan moral dari penonton ruangan sidang. Palu hakim ada di ujung jari-jemari. Sekali salah putusan, benar tak akan masuk bui. Tapi teror sesal yang saya tombakkan ke pelipis sendiri lebih tajam daripada jenis jeruji besi manapun.

Jikalau salah putusan, bisa saja sewindu setelah kejadian, kasusnya terngiang dengung di balik kepala. Menggantung di daun-daun telinga. Saya bisa tiba-tiba jatuh. Badan menumbuk lantai karena perasaan yang tak adil. Sengaja saya sambit diri saya dengan hal-hal dzalim.

Maka saran ibu peri yang ada di dada sebelah kanan - saya dengar ia berbisik diam diam - bahwa eloknya kasus ini dipertimbangkan matang-matang. Salah mengaku salah, benar lalu syukur. Sebelumnya, ada baiknya menanyakan hal-hal yang membingungkan terkait persidangan kepada mereka yang dipercaya handal. Atau benda mati yang sama handal. Atau benda semi-mati yang juga handal, ia ada di dunia maya. Tanyakan kepada mereka baik buruknya. Lalu, otak saya yang bijak menimbang tanpa berat sebelah.

Selamat menjadi hakim yang adil.

Setelah saya tidak menyelesaikan panggilan seleksi kerja pertama saya. Selamat menikmati keputusan terbaik.


Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Group, Bunch, Folks, Characters, Buddies
Ini adalah cuplikan seruan Faldo Maldini yang saya kagumi: "... gue percaya kalo kita sama-sama jalan, insyaAllah kita akan ketemu di satu titik. Tapi kalau kita ngga ketemu berarti salah satu dari kita berhenti, kalau ngga lo yang berhenti, gue yang berhenti. Yang jelas gue akan terus jalan..." 

Di tengah keputus asaan waktu itu, penelitian yang tak kunjung selesai, teman-teman yang semakin sedikit, biaya penelitian yang terlanjur banyak dikeluarkan, seruan singkat Faldo Maldini membuat saya tetap terus berjalan. Meskipun tak cepat, tapi akhirnya sampai juga. 

Beberapa hari lalu, saya menyaksikan video Youtube Iqbal Hariadi. Dia bilang singkatnya,  jangan bingung ketika usia kau berkisar 20an, karena semua orang juga bingung, sama seperti kau. Ah, dan malam-malam yang panjang sering terjadi ketika usia kau hampir satu per empat abad. Merenung dan mencapai pikiran yang luasnya sangat membentang, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Kau bisa capai langit-langit dan membuat awang-awang pikiran kau sendiri saat malam. Menciptakan kemungkinan paling cemerlang sampai paling pahit. 

Quarter Life Crisis lama-lama menjadi hal klise yang digaungkan orang-orang. Tapi krisis yang klise tetaplah krisis. Jalan keluarnya tidak mudah, tapi harus dicari agar bisa dilewati dengan gagah. Di tengah pandemi yang membuat kau sering sendiri, tuntutan Quarter Life Crisis semakin keras bicara, semakin lantang terdengar. Tidak ada yang bisa dilakukan, selain terus jalan. 


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Fairy Tale, Night, Music, Fish, Sky, Fly, Flight, Sleep
Segala rasa iri yang muncul di tulisan ini, tak ada hubungannya sama sekali dengan kondisi pribadi. Sebab, semua permasalahan dan kesalahan harus disebabkan godaan syaitan. 

Mengaku saja, kau juga suka mencari kambing hitam.

Betapa menyenangkan menjadi dia yang cemerlang fisiknya. Baik rupa-rupa dan pantas disajikan di sosial media. Tak usah kau hitung jam, menit-menit setelahnya sudah banjir pujian dan tombol ibu jari. 

Betapa menyenangkan menjadi dia yang tumbuh dari air dan tanah yang baik. Garis keturunannya tak ada cacat. Terpandang, tersohor, termasyhur, apalah sebut saja. Kedudukannya seperti puteri dan pangeran raja yang bertahta. 

Betapa menyenangkan menjadi dia yang maha gampang memikat dan menebarkan pesona. Silakan tunjuk siapa pasangan yang diinginkan. Satu ketuk setelahnya akan datang bagai hadiah dari langit. Esok-esok mereka menikah dan hidup bahagia.

Betapa menyenangkan menjadi dia yang duduk di kursi jabatan tinggi. Sebut-sebut namanya maka seketika kau akan membandingkan betapa kau jauh tertinggal di bawah. Masih mengais-ngais, menangis-nangis. 


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Board, School, Count, Pay, Two, Three, Four, Five, Six
Berhitung seharusnya menjadi kebiasaan wajar seperti bernafas, berbicara, menguap, mengantuk. Saat tes masuk sekolah dasar di dalam ruang kelas, waktu lampau. Gugup rasanya ketika dihadapkan pada bentukan bulat penuh, garis tegak, seperti bebek, gelombang berdiri, kursi terbalik, huruf S tegas, huruf G lembek, atap rumah, lingkaran tanpa putus, dan huruf G kecil halus. Tapi syukurlah lulus, dan tersampaikan keinginannya duduk di bangku yang lebih mandiri, seterusnya sampai besar.

Mungkin lupa, semoga niatan waktu itu tak hanya prasyarat formal belaka supaya dianggap menjadi manusia terdidik. Tapi nyatanya berhitung sudah dilupakan, bahwa seharusnya dibawa sampai nanti tua dalam mengambil keputusan, bertahan hidup. Berhitung memastikan agar tak berhutang. Semoga tak banyak yang lupa.

Berhitung bukan membawa manusia ke dalam kotak penuh aturan, diikat seperti tahanan penjahat, hanya bola matanya yang berwarna hitam yang bisa menggelinding kesana kemari. Berhitung juga bukan menenggelamkan ke dalam kolam penuh air, tangkai kaki kau diikat dengan bola batu berat, sampai pada dasar. Berhitung justru memberi batas agar tak menyusahkan kotak orang lain dan memastikan agar tak sentuh kolam hingga tenggelam. 

Takut berhitung, karena sejatinya berada pada titik yang tak sesuai harapan. Bahwa memang masalah yang ada di dalam tempurung kepala, hidup kau masih penuh dengan delusi. Turun ke bumi, landaskan kedua belah kaki, rasakan sedang berada dimana, menapaklah dengan segera. 

Kau boleh berangan, seperti aku yang suka menulis khayalan cerita fiksi dan puisi -yang tak banyak orang menikmati- tapi kau tahu dalam ceritaku aku juga berhitung, menentukan ritme cerita, panjang paragraf. Jangan salah. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Halloween, Cute, Scary, Monster, Icon, Pumpkin, Silly
Hidup di zaman ini ada untungnya. Standar kecantikan sudah coba diubah dari semula berkiblat pada prasyarat kulit mulus, putih, kurus, rambut lurus. Kini kecantikan diupayakan sudah tak berkiblat. Sebab kecantikan memang punya versinya masing-masing, pun setiap era dan tempatnya. Semoga pernyataan ini tak sekadar menjadi alibi tetapi juga menjadi titik sadar. 

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nampaknya harus menjadi sila seluruh umat manusia. Mari kita berbilang, jika kecantikan punya standar kiblatnya, maka kasihanilah mereka yang berjerawat, berbekas luka tubuh dimana-mana, gendut, berambut keriting. Kasihanilah mereka karena harus menundukkan pandang menyembunyikan keberadaan atau memakai perias wajah tebal-tebal meski tak suka. 

Masih lekat dalam ingatan, artis Tara Basro yang memotret tubuhnya yang menurut dunia tak sesuai standar. Lekuk perut yang berlipat, antonim dari hashtag tubuh idaman. Salah satu jalan pengakuan untuk kebanyakan orang, akuilah tubuh di depan cermin dan lensa kamera, apapun bentuknya tak masalah. Harusnya tak ada lagi standar kecantikan mutlak. Setiap orang bebas menentukan aturannya sendiri, bukan?

Di tempat yang mungkin tak pernah kau dengar pelafalannya, Fiji. Kecantikan membelot dari standar dunia. Mereka yang memunyai tubuh gemuk dan kulit kecoklatan mendapatkan pujian cantik. Atau pengakuan warna eksotis dari bule untuk perempuan Indonesia yang dianggap lebih menarik. Ah, akan dilihat banyak ragamnya. Jadi siapa sekarang yang berhak menentukan standar selain diri kita sendiri?

Paras memang jadi bagian yang dipikirkan, tapi bukan untuk dipusingkan atau dibandingkan. Jika demikian, maka tak akan habisnya sampai berabad-abad kemudian. Jangan berdebat dengan pemikiran yang tak pernah bisa punya acuan. Kau adalah tuannya sekarang. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hedy Lamarr, Actress, Vintage, On Wood, Beauty, Roses
Cermin dan lensa kamera menjadi dua barang yang jarang disentuh, diletakkan di sudut ruangan. Biar terkena debu, biar usang juga tak apa. Sebab dari keduanya, muncul pantul dan gambar yang tak dikehendaki. Membuat kaget dan merasa tak diinginkan.

Paras menjadi sesuatu yang coba tak begitu menjadi prioritas, tapi diam-diam semua orang tetap memujanya dalam pikiran. Sialnya ada yang merasa tertipu karena menganggap prioritas paras ada di titik rendah. Kau bisa lihat produk kecantikan laris manis bak kacang di musim penghujan-pengibaratan lama ini masih terdengar manis-. 

Alhasil, ada yang memupuk norma dan perilaku baik tinggi-tinggi, dan paras dibukur di bawah tanah. Tak boleh lagi dimunculkan hingga waktu yang tak ditentukan alam sadar, tapi dipastikan akan dimunculkan oleh alam tak sadar. Tak ada salah dengan mengangunggkan norma dan perilaku, sampai suatu saat melihat cermin dan lensa kamera seperi menyaksikan balon air 17-an, ingin segera dipecah. Cermin dan lensa kamera ingin segera dipecah.

Saksikanlah noda sana noda sini, warna kusam tak senada, bagian tubuh tak simetris-lagi pula mana ada segala sesuatu yang sama di muka bumi ini-, haus puja pujian. Maka telanlah sabda buruk rupa yang lantang disuakan cermin dan lensa kamera.

Bukan demikian, sesungguhnya bukan karena yang dibutuhkan hanya merentangkan kedua lengan tangan dan melingkari tubuh sendiri. Meski belum banyak yang dilakukan, tak apa sesekali bilang terimakasih telah membersamai berjuang. Sejauh ini. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
https://res.cloudinary.com/


Apakah semua orang harus menjadi feminis? Jawabannya iya, dengan segala perspektif masing-masing yang disepakati diri sendiri.

Chimamanda dengan segala bentuk patriarki yang pernah terjadi di hidupnya. tentu merasai ketidakadilan gender. Membuat perempuan berada di posisi lemah dan mengharuskannya menerima tanpa sepakat peran gender yang dialamatkan lingkungan kepada perempuan.Tentu tidak semua cetusan Chimamanda dalam A Feminist Manifesto saya setujui. Akan tetapi saya suka ide tentang semua orang harus menjadi feminis.

Masa Kecil

Saya pernah menjadi anak kecil. Beberapa hari lalu lebaran, dan cerita ini terjadi beberapa lebaran kali silam. Ketika pada tradisinya saya dan keluarga besar berkumpul dan menginap barang minimal semalam di rumah salah satu sanak saudara. Semua orang berkumpul. Perayaan hari raya seperti biasa, makan besar tak boleh terlewatkan. Maka, seluruh perempuan bahu membahu berkeringat menyiapkan makanan di dapur. Menyiapkan tungku, bahan masakan, bumbu, dan segala rupa. Berjam-jam dihabiskan menyiapkan hidangan, termasuk saya anak kecil waktu itu ikut membantu ibu. 

Makanan selesai dimasak, disajikan. Dan anak-anak dilarang mengambil makanan terlebih dahulu, sebab bapak-bapak diperbolehkan menyantap pertama-tama. Para lelaki lebih banyak menghabiskan waktu di teras sambil bersantai, dipersilakan makan terlebih dahulu. 

Saya Bersedih Hati, Mengapa Begitu?

Apa aturan tentang siapa yang boleh mengambil makan duluan?

Belakangan ini saya baru tahu, tak hanya di Afrika seperti yang Chimamanda ceritakan dalam bukunya. Akan tetapi, Indonesia pun . Patriarki lekat bercokol menjadi budaya. Bahkan, budaya itu muncul dari perempuan sendiri. Secara turun temurun menjadi kebiasaan. 

Maka, dari keresahan masa kecil, saya menyukai ide feminis, dengan perspektif dan batasan saya sendiri tentunya. 

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ilustracion, Videojuego, Graficos, Escena

Di tengah pandemi Covid-19, saya masih mencoba waras.

Ini tulisan pendapat saya pertama kali, karena di dalam kepala saya yang tidak lebih besar dari bola basket ini sedang saut menyahut bising suara banyak sekali. Boleh temani saya urai satu persatu.

Akhir-akhir ini saya memposting beberapa postingan tentang overheard. Judulnya berbeda-beda meskipun satu maksud: ketakutan. 

Satu

Banyak orang yang sedang mengalami ketakutan di saat pandemi ini terutama tentang kesehatan, apakah virus ini dengan kelak sudi mencari inang dalam tubuh atau beruntungnya tidak. Semua berlomba-lomba mencari alat pelindung diri dan mengamankan kehidupan masing-masing. Masih ingat kan sifat serakah manusia yang terkespos secara jelas di awal pandemi ini: panic buying. Menyingkirkan kepentingan orang lain demi hajat hidup sendiri. Meskipun pada akhirnya, siapa yang jamin meraup sebanyak-banyaknya handsanitizer atau masker bisa memperpanjang hidup. 

Sebagai perantau di zona merah, tentunya ketakutan datang lebih besar. Ah, dan kabar besarnya pemimpin daerah itu lebih dulu telah 'disapa' virus ini di awal pandemi. Menjadi perantau seorang diri tanpa sanak keluarga, ketakutan menjadi wajar agaknya. Hingga pada akhirnya, setelah pertimbangan lama, saya memutuskan untuk pulang ke rumah. PSBB belum diberlakukan waktu itu, dan tentunya dengan karantina mandiri di kampung halaman selama 14 hari.

Lagi-lagi bukan cuma saya yang ketakutan saat ini, tapi banyak orang di luar sana. Cerita-cerita bertebaran tentang susahnya bertahan. Tukang ojek, usaha kecil, apalagi pengangguran. Makin kebingungan. Dunia berubah menjadi selayar potongan film yang sering diputar di tivi-tivi. Setidaknya lihatlah dari baju astronot yang dipakai petugas medis. Kelak saya di puluhan tahun kemudian bisa membaca ulang tulisan ini dan mengakui betapa pernah kondisi ini terjadi di kehidupan kami.

Dua

Sebagai mahasisa, akan ada banyak prasangka dan pertanyaan menyebalkan. Paling besar, bukan datang dari orang lain. Tapi kepala orang itu sendiri. Kepala saya. Dan tuntutan pun. Akan ada banyak alasan mengapa sampai saat ini belum juga memakai toga, yakni saya belum tau mau jadi apa dan kemana. Jadi saya sediakan waktu saya sendiri untuk berpikir selama ini sebagai perpanjangan masa akhir studi. Jika ditanya saat ini apakah sudah ada jawaban dari pertanyaan saya itu. Jawabannya sudah. Datang dari sekotak question instagram milik Alamanda Shantika, founder Binar Academy, jawabannya lakukan saja apa yang ada di depan mata. Maka menurut saya, itu adalah jawaban terbaik yang dicari-cari selama ini. 

Tapi manusia ya manusia. Sudah tahu jawabannya masih saja menahan duka, tentang mengapa baru ditemukan jawabannya jika inti dari itu semua adalah menyegerakan apa yang bisa dikerjakan. Ah, dan kabar korona menghantam. Semakin menguatkan bahwa susah menyegerakan dalam waktu dekat ini. 

Tiga

Yang klise dan selalu menjadi perbincangan hangat di umur ini adalah Krisis Seperempat Abad. Meskipun di semua umur punya masa krisisnya masing-masing, seperempat abad punya perhatian paling besar. Masa dimana menjadi pribadi mandiri baru dengan segala pembuktian yang telah dilakukan selama ini, apakah manusia ini cukup kompeten untuk dunianya? Ataukah manusia ini punya tujuan apa untuk hidupnya? Ataukah manusia ini cukup menarik bagi lawan jenisnya? Dan jawabannya lagi-lagi tidak akan ditemukan dimana-mana kecuali tanya dirimu sendiri. Meskipun wajar, tapi pertanyaan ini kerap kali berdenging di kepala saya, membentuk koloni yang semakin hari semakin besar. 

Seperempat abad seharusnya dinikmati dengan riang gembira karena muda dan punya upaya, mengapa harus dibebankan sebuah krisis yang disebut paling besar selama kehidupan manusia. Bukan cuma saya agaknya, tapi teman-teman lain juga, meskipun terkadang bentuknya berbeda tapi saya tahu mereka sedang sama-sama krisis seperti saya. Ada yang diungkapkan ada yang tidak.



Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Covid, Coronavirus, Covid-19, La Corona, Enmascarar
Dahulu yang sangat ribu berkerumun dengan orang-orang saling adu bicara menebalkan otok tenggorokan sampai berbentuk pipa-pipa. Berbincang hingga pekat hangat sampai pekat dingin dan matahari terbit lagi. Suara bergaung-gaung memecah atap. 

Kini dalam langkah yang dibatasi dan suara yang tak semenggema kemarin, bisakah kita dengar lirih tanda tanya atau pelan seruan yang selama ini tak nampak? 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Maka sudahlah jika hari ini tak muncul pelangi dan hujan turun terlalu deras membuat becek pekarangan padahal tadi udara sama sekali tak berwarna abu-abu. 

Maka sudahlah jika rambut keriting terlalu liat untuk disisir dan rambut lurus terlalu licin untuk diikat dan botak yang menyesal karena tukang pangkas telah salah pilih gunting. 

Maka sudahlah jika terlalu banyak iklan di gawai yang tak penting mengganggu video yang diputar atau audio yang dilantunkan penyanyi tunggu saja benar detik lagi tak usah keluarkan otot merah di dahi. 

Maka sudahlah jika yang direncanakan tak sesuai harapan tau salah menentukan pilihan atau terlalu lamban untuk memutuskan. Sudahlah. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Suatu persimpangan selalu membuat lelah karena berhenti. Memilah-milah yang mana yang berujung manis. Mana yang pahit. Mana yang masam. Mana yang ranum. Mana yang sepat. 

Dan pada akhirnya sampai persimpangan dirubuhkan, dibuat jalan tol yang lebar. Lalu lalang satu jalan yang lengang cepat. Semua orang berbahagia menikmati perjalanan yang pintas, sementara si peragu tadi masih bertanya-tanya: persimpangan mana yang harus dipilih. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Menghadapi pandemi korona menyebabkan suatu ketakutan tumbuh. Pasalnya, ketakutan tersebut bersama-sama menyeruak saat ketakutan yang lain juga sedang mekar-mekarnya. 

Suatu tempat disenangi karena tempat tersebut mampu menjadi ruang tumbuh, menyimpan kenangan, atau pengalih perhatian. Dan seketika manusia di dalamnya pindah ke tempat lain, makan wajar jika muncul rasa kehilangan atau kecemasan. Terlebih ketika ia pergi ke tempat lain yang lebih mengancam. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Egoisme menjadi sebentuk alasan penundaan hal besar. Padahal entah apakah sifat itu pantas dijadikan penghalang, atau justru nantinya akan menyesal. Seperti yang sudah sudah. 

Akan tetapi hal besar yang bersifat sakral, bukan kah memang harus dipertimbangkan matang-matang? Agar tak tumbuh kecewa di akhirnya. 

Memang hampir sama, penyesalan dan kekecewaan. Manakah yang mungkin akan terjadi. Atau bisakah keduanya sana sekali tak akan nyata, bila pilihan yang diambil memang tepat. Lalu, manakah yang tepat? Tanyanya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Tentang Saya

Penulis yang suka main kata-kata. Cek juga hasil pikiran otak kiri saya di linisehat.com

Follow Us

  • instagram
  • Google+
  • youtube

Categories

  • Cerita Aneh (8)
  • Fiksi (5)
  • Pendapat (26)
  • Puisi (8)

recent posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2023 (3)
    • ►  Juni 2023 (1)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  Maret 2023 (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (2)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  April 2021 (2)
    • ►  Maret 2021 (1)
    • ►  Februari 2021 (1)
  • ▼  2020 (30)
    • ▼  November 2020 (2)
      • Standar Hidup Orang Lain
      • Suka Mikir
    • ►  Oktober 2020 (2)
      • Benteng
      • Rakyat yang Tak Punya Pekarangan
    • ►  September 2020 (1)
      • Apakah Tuan Sudah Mati?
    • ►  Agustus 2020 (6)
      • Keris
      • Ini Cerita Pendek Disingkat Cerpen
      • Katak yang Bingung
      • Sebuah Cerita Mini Zaman Dahulu
      • Kompilasi Kopi Skripsi
      • Masuk Angin
    • ►  Juli 2020 (9)
      • Tidur Sebelum Jam 12
      • Menapak di Bumi
      • Sudah Lama, Kata Saya
      • Burn Out
      • Upaya - upaya Lain
      • Udah Umur Segini, Kapan Nikah ?
      • Pertimbangan untuk Mempertimbangkan
      • Terus Jalan
      • Enak ya, Jadi Dia...
    • ►  Juni 2020 (3)
      • Salah Perhitungan
      • Cermin dan Lensa Kamera
      • Cermin dan Lensa Kamera (enlightenment)
    • ►  Mei 2020 (2)
      • Berpendapat Tentang Buku A Feminist Manifesto
      • Overheard
    • ►  April 2020 (5)
      • Overheard:Triple Fear IV
      • Overheard: Triple Fear III
      • Overheard: Triple Fear II
      • Overheard: Triple Fear I
      • Overheard: Egoisme
  • ►  2019 (19)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  September 2019 (2)
    • ►  Agustus 2019 (3)
    • ►  Juni 2019 (5)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (29)
    • ►  Desember 2018 (3)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (6)
    • ►  September 2018 (4)
    • ►  Agustus 2018 (6)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (4)
  • ►  2017 (44)
    • ►  Desember 2017 (10)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  Oktober 2017 (6)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  Maret 2017 (8)
    • ►  Februari 2017 (7)
    • ►  Januari 2017 (10)
  • ►  2016 (49)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (3)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (13)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (10)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  Maret 2016 (11)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (19)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (5)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (1)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  Juli 2014 (1)

Created with by ThemeXpose