Overheard

Ilustracion, Videojuego, Graficos, Escena

Di tengah pandemi Covid-19, saya masih mencoba waras.

Ini tulisan pendapat saya pertama kali, karena di dalam kepala saya yang tidak lebih besar dari bola basket ini sedang saut menyahut bising suara banyak sekali. Boleh temani saya urai satu persatu.

Akhir-akhir ini saya memposting beberapa postingan tentang overheard. Judulnya berbeda-beda meskipun satu maksud: ketakutan. 

Satu

Banyak orang yang sedang mengalami ketakutan di saat pandemi ini terutama tentang kesehatan, apakah virus ini dengan kelak sudi mencari inang dalam tubuh atau beruntungnya tidak. Semua berlomba-lomba mencari alat pelindung diri dan mengamankan kehidupan masing-masing. Masih ingat kan sifat serakah manusia yang terkespos secara jelas di awal pandemi ini: panic buying. Menyingkirkan kepentingan orang lain demi hajat hidup sendiri. Meskipun pada akhirnya, siapa yang jamin meraup sebanyak-banyaknya handsanitizer atau masker bisa memperpanjang hidup. 

Sebagai perantau di zona merah, tentunya ketakutan datang lebih besar. Ah, dan kabar besarnya pemimpin daerah itu lebih dulu telah 'disapa' virus ini di awal pandemi. Menjadi perantau seorang diri tanpa sanak keluarga, ketakutan menjadi wajar agaknya. Hingga pada akhirnya, setelah pertimbangan lama, saya memutuskan untuk pulang ke rumah. PSBB belum diberlakukan waktu itu, dan tentunya dengan karantina mandiri di kampung halaman selama 14 hari.

Lagi-lagi bukan cuma saya yang ketakutan saat ini, tapi banyak orang di luar sana. Cerita-cerita bertebaran tentang susahnya bertahan. Tukang ojek, usaha kecil, apalagi pengangguran. Makin kebingungan. Dunia berubah menjadi selayar potongan film yang sering diputar di tivi-tivi. Setidaknya lihatlah dari baju astronot yang dipakai petugas medis. Kelak saya di puluhan tahun kemudian bisa membaca ulang tulisan ini dan mengakui betapa pernah kondisi ini terjadi di kehidupan kami.

Dua

Sebagai mahasisa, akan ada banyak prasangka dan pertanyaan menyebalkan. Paling besar, bukan datang dari orang lain. Tapi kepala orang itu sendiri. Kepala saya. Dan tuntutan pun. Akan ada banyak alasan mengapa sampai saat ini belum juga memakai toga, yakni saya belum tau mau jadi apa dan kemana. Jadi saya sediakan waktu saya sendiri untuk berpikir selama ini sebagai perpanjangan masa akhir studi. Jika ditanya saat ini apakah sudah ada jawaban dari pertanyaan saya itu. Jawabannya sudah. Datang dari sekotak question instagram milik Alamanda Shantika, founder Binar Academy, jawabannya lakukan saja apa yang ada di depan mata. Maka menurut saya, itu adalah jawaban terbaik yang dicari-cari selama ini. 

Tapi manusia ya manusia. Sudah tahu jawabannya masih saja menahan duka, tentang mengapa baru ditemukan jawabannya jika inti dari itu semua adalah menyegerakan apa yang bisa dikerjakan. Ah, dan kabar korona menghantam. Semakin menguatkan bahwa susah menyegerakan dalam waktu dekat ini. 

Tiga

Yang klise dan selalu menjadi perbincangan hangat di umur ini adalah Krisis Seperempat Abad. Meskipun di semua umur punya masa krisisnya masing-masing, seperempat abad punya perhatian paling besar. Masa dimana menjadi pribadi mandiri baru dengan segala pembuktian yang telah dilakukan selama ini, apakah manusia ini cukup kompeten untuk dunianya? Ataukah manusia ini punya tujuan apa untuk hidupnya? Ataukah manusia ini cukup menarik bagi lawan jenisnya? Dan jawabannya lagi-lagi tidak akan ditemukan dimana-mana kecuali tanya dirimu sendiri. Meskipun wajar, tapi pertanyaan ini kerap kali berdenging di kepala saya, membentuk koloni yang semakin hari semakin besar. 

Seperempat abad seharusnya dinikmati dengan riang gembira karena muda dan punya upaya, mengapa harus dibebankan sebuah krisis yang disebut paling besar selama kehidupan manusia. Bukan cuma saya agaknya, tapi teman-teman lain juga, meskipun terkadang bentuknya berbeda tapi saya tahu mereka sedang sama-sama krisis seperti saya. Ada yang diungkapkan ada yang tidak.



You May Also Like

0 comments