Setelah lari yang kau anggap panjang. Akhirnya diberi ruang untuk luang. Biar bisa memaknai apa yang sebenarnya terjadi. Sedang pada titik kuadran mana atau lintang berapa. Barangkali salah baca peta, atau peringatan harus menepi sebentar karena perbekalan menipis. Pergi ke rumah penduduk, saling sapa menyapa orang belahan bumi lain.
Padahal rumah, ah rumah.
Kemarin mungkin salah naik tumpangan. Seharusnya kau pergi dengan kendaraan timur, tapi menumpang ke angkutan tenggara. Mungkin di dalam perjalanan kau lupa tentang langit dan semesta. Atau berbagai kemungkinan lain.
Sebentar, bernapas sebentar. Kau butuh udara segar agar tidak mimisan.
Akan tetapi, tidak bisa keluar rumah. Dan juga terperangkap dalam kenangan lama. Keduanya membentuk gelembung ganda yang semakin hari, anehnya semakin kuat hebat membebat. Lama kelamaan, berbelas pasang rusuk retak, patah, dan jangan sampai remuk. Retak dan patah juga bukan hal yang baik. Maka jangan tambah-tambahi susahnya keadaan dengan kenangan.
***
Sementara:
Bukannya sudah jelas rumusnya bahwasanya, rezeki ada untuk mereka yang bergerak. Kalimat itu lantang menggema di rongga-rongga kepala. Dan telah mendapatkan persetujuan dari diri kau sebelumnya. Sebelum jatuh miskin. Kemudian, semesta memvalidasi perkataan sendiri, apakah benar sepercaya itu.
Dan pada akhirnya segala tentang iman memang perlu divalidasi entah beberapa kali. Kau pikir.
Kau juga berpikir, pada zaman dahulu. Pedagang jam bisa hidup cuma dengan membuka tokonya dua jam per hari. Jelas tidak mungkin kau berubah profesi jadi pedagang jam dan bekerja sependek itu. Tapi, sayang kau habiskan waktu. Renungi lagi. Sesi ini memang untuk perenungan.
Maka benar berhenti sejenak. Mungkin beberapa waktu ke depan akan berlari. Dan semoga yang terbaik dari semesta untuk kau yang harusnya jadi orang baik hati. Selama belum lari, tunggu dulu. Jangan banyak habiskan energi di tempat. Bersabar.