Apa salahnya bergumam, mengumpat, menyumpah dalam hati? Toh, tidak ada yang peduli. Kecuali semesta yang curang, menguping diam-diam.
Sejatinya, pikiran bukan tempat persembunyian paling aman. Radarnya masih bisa sampai ke telinga alam semesta dan keluhan yang waktu itu saya utarakan kabul sudah, dengan cara yang tak diinginkan. Doanya, kurang lengkap. Kata orang-orang yang pernah mendengar kisah ini. Tapi, tak akan saya jabarjujurkan.
Cerita tersamarkan
Hujan yang harusnya disyukuri menjadi letupan keluhan yang tenang hanya jika saat ada matahari. Sumpah serapah diteriakkan, namun alhasil hanya didengar oleh paru, ginjal, hati, hipotalamus, dan gendang telinga itu sendiri. Menggema suaranya dalam rongga-rongga badan.
Tentang mengapa harus turun air dari langit yang membuat bajunya kuyup, sepatunya lembek, orang-orang melihatnya seperti gorengan setelah duabelasjam -letoi-. Dan pekerjaan dengan upah yang tak seberapa, atasan marah-marah, spidol habis dan ia harus membeli dengan uang pribadi. Juga mengapa kucingnya setiap hari harus makan sehingga mengurangi uang dari dompetnya sebesar limapuluhribu.
Ah, iya. Ia lupa menghubungi rekanan yang tak sabar menerima kabar. Kemudian diambil sebatang alatkomunikasi yang mulai berembun tapi masih rigid. Ditombol-tombol dan tak lama kemudian berkedip seperti bukti napas terakhir. Konslet.
Di waktu-waktu lalu
Melihat pekarangan tetangga yang hijau dan ia yang tak punya pekarangan selain limapulusenti jarak rumahnya dengan jalan raya, berbatas tanah berdebu tempat kucing biasa menaruh tahi. Ingin rasanya menghubungi pejabat yang digaji uang pajak, mengadu mengapa hidup manusia bisa berbeda-beda padahal sama-sama rakyatnya negara. Tapi ia lupa, sebatang alatkomunikasi milikmya tak layak menjangkau jaring sinyal kalangan elit.
Lalu saksikan miliknya yang ketinggalan jaman dan mulai berkhayal-khayal tentang andai bentukannya baru, andai kekinian, andai bukan ini, andai itu. Andai-andai diam yang sering.