Katak yang Bingung

Katak suka bingung geleng-geleng kepala kalau sudah malam tak ada orang.
Saat katak berkelana melompati tanah-tanah dan berenang membelah gelombang. Manakah yang lebih nikmat dan menentramkan hati. Tidakkah lebih baik memilih menetap di salah satunya. Malu dilihat tetangga, apa nanti kata mereka. Sebentar-sebentar tenggelam, lalu besoknya sudah asyik ke daratan mental-mental kegirangan.
Tanpa dimintai pendapat, sahabat dekatnya, siput yang lamban tapi suka pamer berkata: bukankah lebih enak seperti aku yang setia membawa rumah kemana-mana, tinggal sembunyi kalau hujan, merunduk kalau panas. Kau mau? Aku coba carikan ke rekan-rekan yang sudah mati.
Ding dong.
Apa bedanya dengan ia yang suka berlanglang buana di dua kota. Naik kereta api yang makan jam lebih dari satuperdua hari. Tapi terus saja dilakoni setiap enam bulan sekali. Melewati kota metropolitan, kampung padat penduduk, sawah bekas panen, aroma kulit padi yang terbakar, lalu pelukan orang yang disayang.
Bagaimana bisa harus meninggalkan salah satunya sebab setiap sudut kota -yang akan tak lagi dihuni- berbicara tentang kisah masing-masing. Dan hujan yang sudah meresap ke dalam tanah hidup lagi menyampaikan kesaksian, bahwa pernah ada manuisa disini pagi-pagi sekali pusing tujuh keliling mencetak lembaran tugas mahasiswa, lari-lari karena sudah sering malu terlambat, melewati lorong-lorong orang yang sama terburu-burunya.
Juga tak pernah lupa tentang bagaimana menyenangkan berkenalan dengan banyak kepala, isi pikirannya, dan (hal yang harus dibungkam agar tak diketahui).
Jadi, katak pilih hidup dimana?
0 comments