Pertimbangan untuk Mempertimbangkan

Tiba-tiba saya diminta menjadi hakim untuk mengadili kasus saya sendiri. Lucu, saya jadi bingung sekaligus senang. Bisa dimenangkan dengan mudah artinya. Saya tak perlu melakukan pembelaan, merayu hati jaksa penuntut umum. Saya bisa melenggang bebas dari jeruji besi, tak perlu masuk bui dan tersiksa.
Tapi setelah dipikir-pikir, saya terlalu pongah sebagai manusia. Merasa semua akan baik-baik saja. Padahal mengadili kasus sendiri justru rumit. Kau harus melakukannya sendirian. Tanpa pengacara, tanpa rekan-rekan. Tidak ada dukungan moral dari penonton ruangan sidang. Palu hakim ada di ujung jari-jemari. Sekali salah putusan, benar tak akan masuk bui. Tapi teror sesal yang saya tombakkan ke pelipis sendiri lebih tajam daripada jenis jeruji besi manapun.
Jikalau salah putusan, bisa saja sewindu setelah kejadian, kasusnya terngiang dengung di balik kepala. Menggantung di daun-daun telinga. Saya bisa tiba-tiba jatuh. Badan menumbuk lantai karena perasaan yang tak adil. Sengaja saya sambit diri saya dengan hal-hal dzalim.
Maka saran ibu peri yang ada di dada sebelah kanan - saya dengar ia berbisik diam diam - bahwa eloknya kasus ini dipertimbangkan matang-matang. Salah mengaku salah, benar lalu syukur. Sebelumnya, ada baiknya menanyakan hal-hal yang membingungkan terkait persidangan kepada mereka yang dipercaya handal. Atau benda mati yang sama handal. Atau benda semi-mati yang juga handal, ia ada di dunia maya. Tanyakan kepada mereka baik buruknya. Lalu, otak saya yang bijak menimbang tanpa berat sebelah.
Selamat menjadi hakim yang adil.
Setelah saya tidak menyelesaikan panggilan seleksi kerja pertama saya. Selamat menikmati keputusan terbaik.
Tapi setelah dipikir-pikir, saya terlalu pongah sebagai manusia. Merasa semua akan baik-baik saja. Padahal mengadili kasus sendiri justru rumit. Kau harus melakukannya sendirian. Tanpa pengacara, tanpa rekan-rekan. Tidak ada dukungan moral dari penonton ruangan sidang. Palu hakim ada di ujung jari-jemari. Sekali salah putusan, benar tak akan masuk bui. Tapi teror sesal yang saya tombakkan ke pelipis sendiri lebih tajam daripada jenis jeruji besi manapun.
Jikalau salah putusan, bisa saja sewindu setelah kejadian, kasusnya terngiang dengung di balik kepala. Menggantung di daun-daun telinga. Saya bisa tiba-tiba jatuh. Badan menumbuk lantai karena perasaan yang tak adil. Sengaja saya sambit diri saya dengan hal-hal dzalim.
Maka saran ibu peri yang ada di dada sebelah kanan - saya dengar ia berbisik diam diam - bahwa eloknya kasus ini dipertimbangkan matang-matang. Salah mengaku salah, benar lalu syukur. Sebelumnya, ada baiknya menanyakan hal-hal yang membingungkan terkait persidangan kepada mereka yang dipercaya handal. Atau benda mati yang sama handal. Atau benda semi-mati yang juga handal, ia ada di dunia maya. Tanyakan kepada mereka baik buruknya. Lalu, otak saya yang bijak menimbang tanpa berat sebelah.
Selamat menjadi hakim yang adil.
Setelah saya tidak menyelesaikan panggilan seleksi kerja pertama saya. Selamat menikmati keputusan terbaik.
0 comments