• Home
  • About
  • Puisi
  • Pendapat
  • Cerita Aneh
instagram Email

Pangeran Kucing

Jurnal Harian dan Kata-kata Bualan

Seringkali seseorang menyantap makanan terutama kemasan tanpa melihat dengan teliti sebenarnya makanan apa yang masuk ke dalam mulutnya. Yang kebanyakan konsumen inginkan hanyalah perut kenyang, maka hati senang. Padahal tak semudah itu, konsumen cerdas sangat dibutuhkan untuk menunjang kesehatan produk-produk makanan yang ada di Indonesia. Berikut hal-hal yang sering orang lalaikan ketika mengkonsumsi makanan kemasan

1. Amati dengan Cermat Tanggal Kadaluarsa
Melewati batas kadaluarsa bukan hal yang bisa ditolerir. Melewati batas kadaluarsa berarti telah siap menanggung resiko penyakit. Sama saja dengan mengkonsumsi makanan basi.

2. Label Halal untuk Konsumen Muslim
Cek logo MUI di kemasan. Atau bisa juga cek produk yang ingin dikonsumsi di www.halalmui.org. Belakangan terdapat kasus mie instan asal negara luar yang masuk ke pasar Indonesia namun tak memiliki keterangan halal dan diduga mengandung komponen babi. Pasti tidak mau hal tersebut terjadi lagi kan?

3. Komposisi Bahan Penyebab Alergi
Produk yang baik biasnya menyertakan peringatan terhadap bahan-bahan yang memungkinkan memicu alergi. Bahan-bahan alergi yang biasanya dicantumkan seperti gluten dan laktosa. Konsumen juga bisa melihat secara detail di komposisi bahan pangan.

4. Label Gizi untuk Konsumen dalam Masa Diet
Label gizi merupakan bagian produk kemasan yang sangat jarang dilihat oleh konsumen. Namun sebenarnya label gizi perlu dicermati terutama bagi mereka yang sedang melaksanakan diet. Label gizi sangat diperlukan untuk menghitung kebutuhan kandungan gizi.

5. Awas bakteri Botulinum botuli
Sebagian orang mengira keadaan kaleng yang penyok merupakan kejadian biasa akibat tertumpuk oleh benda lain. Perlu sangat diperhatikan bahwa hal tersebut bisa saja disebabkan karena bakteri Botulinum botuli. Hal fatal akibat aktivitas bakteri Botulinum botuli adalah keracunan tingkat tinggi.

Menjadi konsumen cerdas bukan pilihan melainkan suatu keharusan. Rawat dirimu, melalui makanan yang masuk ke dalam tubuhmu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Nama sebenarnya adalah Suci Santi Risalah, tapi pena mengganti namanya menjadi Risalah Husna.

Hari minggu, 10 Desember 2017 Forum Lingkar Pena Bogor untuk pelatihan Pramuda angkatan 10 mengadakan pertemuan terakhir kalinya. Tema pertemuan kali ini adalah "Menulis Media Online" oleh Kak Risalah Husan. Kak Risalah Husna merupakan seorang food and travelers blogger dan lifestyle blogger. Kak Risalah Husna telah aktif di dunia blog semenjak tahun 2014 hingga sekarang.

Media online merupakan wadah kepenulisan yang akhir-akhir ini menjadi jalur yang dipilih banyak pihak baik untuk mengunduh informasi maupun mengunggah informasi. Zaman telah bergeser, dan kebutuhan zaman pun akan lebih cenderung menuju ke arah media online dibanding media cetak atau elektronik. Peluang untuk menghidupi diri lewat media online bisa dibilang cukup besar, Kak Risalah Husna mengungkapkan bahwa seorang blogger dalam satu bulan dapat meraih imbalan sebesar harga satu buah laptop lewat tulisn-tulisan yang dimonetisasi oleh pemilik brand dalam rangka promosi. Motivasi yang cukup menarik bagi pemula yang berminat terhadap dunia blogging.

Kak Risalah Husna membagikan ilmunya dengan menarik dan bersemangat. Ia menuturkan bahwa adda 5 kaidah penting dalam menulis konten di media online. Hal ini perlu diperhatikan mengingat penulisan konten media online berbeda dengan konten-konten lain seperti esai, opini, ataupun berita media cetak.  Beberapa kaidah tersebut diantaranya adalah yang pertama menggunakan alenia pendek karena pembaca media online cenderung mengiginkan berita praktis dalam waktu yang singkat. Yang kedua mengatur jarak antar alenia. Yang ketiga format rata kiri agar mata pembaca tidak lelah. Yang keempat meng highlight kata-kata atau point yang dianggap penting. Yang kelima adalah menghilangkan indent.

Sesi akhir pertemuan terakhir, Kak Risalah Husna menceritakan kisah hidupnya dalam karir sebagai seorang blogger. Semua peserta menyimak dengan baik. Kisah hidup yang menyenangkan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sang Pemberi Bukan Saudagar Kaya

Memberi tak harus menunggu kaya. Hanya butuh sepotong hati yang baik. Sama halnya dengan yang dilakukan seorang pedagang anakan kelinci di jalanan dramaga. Bukan pedagang besar, toh hanya pedagang jalanan yang membawa 8-10 kelinci anakan.

Dapat ditebak berapa uang yang ada di kantongnya, sebab tak seorangpun mampir dan membeli dagangannya. Semua orang berlalu lalang. Hanya sekilas melirik dan pergi. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
 
Tatkala seorang renta lewat di depan pedagang kelinci anakan, sang pedagang mengenggam 3-4 koin receh. Menyelipkan ke tangan seorang renta, meskipun ia sendiri tak bernasib lebih baik. 
 
"Ini nek, buat nenek."
 
Sekilas terlihat kejam. Kemana manusia-manusia kaya, sementara yang miskin harus mengasihi yang miskin pula. Uang mereka yang tak banyak berpindah tangan kepada sesama yang tak berpunya. Dari kantong tipis ke kantong tipis. Siklusnya berputar.
 
Saudagar kaya sibuk di TV
 
Bapak sibuk membagi-bagikan dana kepada rekan sejawat. Lantas ia menulis serangkaian adegan yang tersusun rapih untuk mengelabuhi mata negara. Sepertinya Bapak lupa negara tak lagi dalam kungkungan kebodohan. Perlahan kami menjadi pintar.
 
Trilyunan rupiah beterbangan. Masuk ke kantong yang sudah gembung. Kantong yang salah alamat. Kartu identitas masyarakat lama sekali jadinya. Orang bilang sistemnya akan diperbaiki, terintegrasi. Tapi sampai sekarang yang digenggam hanya kartu identitas mati. Belum diperbaharui.
 
Bapak sekarang sering muncul di TV. Dengan tuduhan sebagai kepala pembagi-bagi "rezeki". Tapi Bapak dan pengacara membela diri. Bapak selalu bilang tidak tahu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sumber: kaskus.co.id
 
“Kembali... Cinta.” Salah satu kalimat dari sekian kalimat yang menghiasi dinding-dinding bangunan Aleppo. Sebagian besar hancur dihantam bom dan rudal. Warga Aleppo yang amat mencintai tanahnya berjanji akan kembali. Meskipun untuk saat ini dengan berat hati mereka meninggalkan tanah ibunya. Rezim Assad yang kejam memisahkan warga dan tanah Aleppo. Tempat mereka dilahirkan, tempat sanak saudara dikuburkan, tempat mimpi-mimpi diperjuangkan. Tempat kebenaran ditegakkan.

Zionis Israel menghantam bangunan dengan bom dan senjata. Anak-anak menangis kehilangan Bapak dan Ibunya. Para istri tersayat hati mendengar suaminya syahid membela Palestina untuk Islam tercinta. Darah dan air mata seperti genangan air di musim hujan. Kalau tidak karena cinta mungkin saja dengan mudahnya mereka pergi. Mencari tanah yang lebih aman dan sentausa. Bukankah Palestina milik seluruh umat muslim? Al-Aqsa yang suci di tanah Palestina seharusnya diperjuangkan bersama oleh seluruh umat muslim dunia. Namun dengan bangga rakyat Palestina menyuguhkan diri.  Sedangkan kita yang hanya termangu dan berduka sewajarnya menyaksikan berita perang Palestina di televisi.

Rosul Muhammad bersedih hati. Selama 53 tahun beliau hidup dan menginjakkan tanah di Mekkah. Tanah Mekkah yang dicintai Rasulullah harus ditinggalkan demi keselamatan. Beliau mendapatkan banyak sekali ancaman, cacian, dan makian penduduk kota Mekkah. Bahkan Rasulullah berkali-kali hampir dibunuh. Diriwayatkan bahwa pada saat pembebasab kota Mekkah, Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Hajun, lalu bersabda “Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah sebaik-baiknya bumi Allah, dan sesungguhnya engkau adalah negeri yang paling dicintai Allah. Seandainya aku tidak di usir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.” (Diriwayatkan dari ibnu Umar bin Adiy bin Abil Humra, dikutip dari ‘Atiq bin Ghaits al-Biladi).

Permata kebanggaan Indonesia, Bacaruddin Jusuf Habibie menorehkan tinta emas atas nama Indonesia. Cintanya terhadap tanah air membuat BJ Habibie rela melepaskan karir cemerlangnya di Jerman. BJ Habibie percaya bahwa Indonesia memiliki masa depan yang cerah sehingga ia harus kembali untuk membangun bangsanya.

Ribuan ulasan dan pendapat mengakui Indonesia sebagai surga dunia. Tanahnya subur, kondisi sumber daya alamnya makmur, lautnya menawan, daratannya tak kalah mempesona. Di negeri ini hasil bumi melimpah. Dahulu kala orang-orang asing yang meyakini adanya tembaga di sekujur tubuh gunung dan terhampar di seluruh permukaannya. Namun setelah di teliti, tidak hanya tembaga yang tersimpan, melainkan juga emas dan perak. Tambang gunung tembaga, emas, dan perak tersebut kini dikenal sebagai tambang Freeport, Papua, Indonesia. Saat ini tanah bekas galian tambang menganga besar membentuk lubang raksasa yang menggerus permukaan bumi.

Indonesia kaya akan budaya. Warna-warni tarian, makanan khas, bentuk rumah, bahasa, dan pakaian. Apakah kita mencintainya? Semoga kita mencintainya. Kini berbagai jenis batik terlihat menawan dikenakan dengan rasa bangga terhadap Indonesia. Kios-kios pinggir jalan berlomba-lomba menjual batik dengan berbagai corak warna dan motif. Berbondong-bondong masyarakat memakai batik setelah klaim perebutan oleh negara tetangga begitu membuat geram dan marah. Sebelumnya batik begitu lekat dengan stereotipe ‘ketinggalan jaman’.

Negeri ini juga aman sentausa, tak ada senjata, bom, apalagi rudal, tak ada genangan darah dan tangis, tak ada robohan bangunan yang menggunung. Namun negeri ini tetap riuh, jutaan jari menempel pada keypad handphone atau tuts laptop menyerang satu sama lain dengan berbagai lontaran yang menyakitkan hati. Aib disebar dimana-mana. Berita sepi peminat, namun gosip menyebar cepat. Penghujat social media bersembunyi dibalik akun maya. Tak punya nyali menunjukkan diri. Wajah negara kita tercermin dari moral masyarakatnya. Budaya demikian tak patut ditunjukkan oleh negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

“.....dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Qasas 28: 77).

Indonesia layaknya pisau. Pisau tersebut terbuat dari bahan yang mengkilap dan kuat. Mata pisaunya tajam pula. Harganya mahal karena bahan pisau tidak mudah didapatkan. Pisau tersebut digunakan untuk memotong dan mengiris bahan pangan dengan sempurna. Menghasilkan makanan sedap dan lezat. Namun apabila pisau tersebut tidak pernah digunakan, maka ia akan tumpul dan berkarat. Teronggok tak berguna. Bisa jadi pisau tersebut diambil orang yang bersedia merawat dengan baik dan mengasahnya setiap hari. Lantas ia membuat makanan yang lebih sedap dan lezat dari yang pernah dibuat pemilik lama. Pisau terbut layaknya kekayaan yang dimiliki Indonesia. Masyarakat lah yang memiliki peranan penting tentang kemana negeri ini akan dijalankan. Akankah negeri ini dijaga kehormatannya dan dirawat kekayaanya? Atau justru membiarkan kekayaan negeri ini  tumpul dan berkarat lalu diambil orang lain?
Rasa-rasanya Indonesia tidak sedang menunggu uji ketabahan dari Allah layaknya Aleppo atau Palestina. Ataupun pengusiran dari tanahnya sendiri seperti Rosul Muhammad ketika berhijrah. Hei, Indonesia memiliki teladan seorang Habibie yang jenius dan membanggakan. Rasa cinta tanah airnya begitu tinggi, lantas apa yang membuat kita tak mengikuti langkahnya? Allah melimpahkan rezeki untuk Indonesia, maka bukti cinta kita atas pemberian Allah tersebut adalah dengan cara bekerja keras untuk membuat negeri ini makmur atas ridho Allah. Mencinta dahulu, maka masa depan cerah negeri ini akan datang mengikuti.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber: bogordaily.net
 
 
Macet merupakan nama belakang dari sebuah dareah pinggir Kabupaten Bogor yang bernama Dramaga. Kemacetan di Dramaga bukan hal yang baru bagi masyarakat sekitar. Bertahun-tahun lamanya, warga dipaksa menikmati kemacetan Bogor yang tiada mengenal waktu baik siang ataupun malam hari. Jalanan penuh sesak ditambah dengan asap knalpot yang mengepul menimbulkan hawa panas.
 
Berbagai kendaraan mulai dari angkot, mobil, sepeda motor, bis, sampai truk pengangkut sampah berlalu lalang sesak memenuhi jalanan Dramaga.  Kemacetan paling parah terjadi ketika rush hour yakni jam 7-8 pagi dan jam 4-6 sore dimana pegawai kantor dan anak-anak sekolah sedang berangkat dan pulang. Pada saat itu, jalanan Dramaga tak bisa 'dibelah', semua pengendara berlomba-lomba sampai tujuan dengan cepat tanpa mengindahkan lajur masing - masing sehingga memperparah kemacetan.
 
Titik-titik rawan terjadi di sepanjang jalan kampus Dramaga IPB sampai perempatan Laladon, terutama  pada persimpangan tanpa lampu merah. Persimpangan tersebut yang hanya dijagai oleh 3-4 orang sebagai pihak yang membantu memperlancar arus lalu lintas. Ada beberapa yang tanpa meminta balas jasa, namun ada juga yang menyediakan 'keclengan' sebagai bentuk permintaan imbalan.
 
"Macet bikin habis waktu di jalan. Belum ditambah stres habis kuliah lalu ditambah juga stres dijalan, jadi stresnya numpuk." ujar mahasiswi IPB pengguna angkot.
 
Pemerintah belum memberikan solusi efektif sampai saat ini. Perlu ditemukan inovasi baru untuk mengatasi masalah kemacetan Dramaga. Meskipun Dramaga merupakan daerah pinggir Kabupaten Bogor yang bukan wajah utama daerah Bogor, namun pemerintah perlu meletakkan perhatian lebih kepada daerah yang menjadi pusat pendidikan di Bogor ini.
 
 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Jurnalistik berawal dari acta diurna yakni semacam tulisan stupa.

Hari minggu, 27 November  2017 Forum Lingkar Pena mengadakan pertemuan kelima kalinya. Tema pertemuan kali ini adalah "Jurnalistik" oleh Bang Ilham. Bang Ilham merupakan seorang jurnalis yang telah memilik jam terbang tingi. Pertemuan kali ini lebih banyak mengedepankan sesi diskusi dibandingkan dengan sesi-sesi sebelumnya yang cenderung satu arah.

Bang Ilham memberikan sedikit paparan awal mengenai sejarah jurnalistik di dunia yang berawal dari Romawi dan Cina. Saat ini kiblat jurnalistik mengarah ke negara Amerika dan Eropa ditandai dengan kulitas jurnalistik yang baik serta kode etik jurnalistik yang lebih holistik dan komprehensif. Bang Ilham juga menuturkan bahwa saat ini jurnalistik telah berkembang pesat dan lebih menyasar pada media online. Lambat laun media cetak akan ditinggalkan karena tak sesuai dengan zaman.

Secara teknis, Bang Ilham menerangkan hal-hal terkait menulis berita, yang pertama adalah verifikasi dan objektivitas. Setiap penulis berita harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan rasa curiga. Yang kedua adalah orisinalitas, berita yang ditulis membutuhkan orisinalitas sebagai ciri dari karakter penulis kecuali dalam penulisan press release. Yang ketiga adalah kelengkapan berita, informasi yang sepotong-potong akan menimbulkan bias penafsiran. Yang keempat adalah transparansi sebagai salah satu bagian terpenting menyangkut masalah kode etik jurnalis, setiap penulis berita wajib mencantumkan sumber informasi secara jelas. Yang kelima adalah keadilan serta tak memihak pihak manapun.

Bang Ilham membuka sesi diskusi di akhir pertemua. Diskusi berjalan panjang, para peserta antusias dengan dunia jurnalis di Indonesia terutama mengenai praktik-praktik curang yang dilakukan oleh sebagian oknum tak bertanggung jawab serta akibat dari lemahnya kode etik jurnalistik di Indonesia.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Skenario film merupakan bule print sebuah rumah, sedangkan film merupakan rumahnya.

Hari minggu, 19 November 2017 Forum Lingkar Pena mengadakan pertemuan keempat kalinya. Tema pertemuan kali ini adalah "Menulis Skenario Film dan Teater". Pemateri pertemuan keempat adalah seseorang yang spesial dimana ia telah malang melintang di dunia kepenulisan skenario film maupun sinetron. Salah satu judul sinetron ternama yang pernah ia garap yaitu Tukang Ojek Pengkolan yang tayang secara rutin di salah satu media TV besar di Indonesia. Ia adalah Pak Soket. Peserta Pamuda FLP Bogor angkatan 10 terlihat sangat antusias dengan materi pertemuan keempat.

Pak Soket membuka materi dengan gambaran umum perfilman di Indonesia dengan perfilman di luar negeri. Untuk saat ini perfilman dunia sedang berkiblat menuju perfilman Amerika atau perfilman Hollywood. Pak Soket juga menunjukkan beberapa judul film yang direkomendasikan untuk ditonton karena segi alur cerita dan pembuatan filmnya yang bagus. Beberapa film yang direkomendasikan Pak Soket untuk ditonton adalah Something About Marry dan Pretty Woman.

Teknik-teknik dasar dalam pembuatan film dan penyusunan skenario dikupas tuntas oleh Pak Soket. Langkah-langkah dalam penyusunan skenario yang pertama adalah riset yang merupakan akar cikal bakal keseluruhan isi film. Yang kedua adalah ide serta penokohan. Yang ketiga adalah sinopsis, berbeda dengan sinopsis buku, sinopsis film merupakan gambaran ide keseluruhan film yang bisa dibaca sekali duduk. Yang keempat adalah scene plot. Yang kelima adalah skenario yang merupakan hasil akhir meliputi cerita dan setting  detail.

Pada akhir sesi, antusiasme peserta Pramuda FLP Bogor meningkat. Peserta melemparkan banyak sekali pertanyaan kepada Pak Soket, tak hanya mengenai skenario film tetapi juga skenario teater. Pak Soket juga memberikan tantangan berupa penulisan sinopsis film yang akan dinilai secara langsung oleh Pak Soket dan penulis skenario terbaik akan diberikan reward.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Judul : Rectoverso
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan : Kesepuluh, September 2016
Tebal : ix + 170 halaman
ISBN : 978-602-7888-03-6

Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun, orang itu hanya mampu ku gapai sebatas punggungnya saja. Sesorang yang cuma sanggup ku hayati bayangannya dan tak akan pernah ku miliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggung mengejar. ~Rectoverso hal. 52
Kemalangan mengenai cinta yang tak terucap merupakan kisah klise namun tetap menjadi cerita sedih yang santar ingin didengar oleh orang-orang. Berbagai latar belakang diambil oleh Dee sehingga membuktikan bahwa jenis perasaan seperti ini sangat mungkin dirasakan oleh semua pihak tak terkecuali.

Sebelas cerita pendek dan sebelas lagu ditulis Dee dengan tujuan memberikan inovasi berupa perpaduan apik antar buku dan musik. Percampuran antara dua hal tersebut memberikan kesan unik dan melankoli tersendiri. Dee merangkai cerita dengan kelogisan yang baik sehingga pembaca membaca cerita Dee secara mengalir serasa seperti menjadi bagian dari cerita bukan hanya penikmat semata.

Dee menampilkan orisinalitasnya di setiap cerita. Dari 11 cerita pendek Rectoverso, keseluruhan cerita tidak menimbulkan bias ide satu sama lain. Setiap cerita memiliki ciri khasnya masing-masing. Seperti salah satu judul cerita pendek yaitu "Malaikat Juga Tahu" yang bercerita mengenai seseorang yang memiliki kelainan jiwa namun sejatinya ia tetap memiliki rasa cinta dan diutarakan dengan caranya sendiri. "Dia mencintai tidak cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, tidak cuma rayuan gombal, tapi fakta....." ~ Rectoverso hal. 18.

Selain itu juga ada beberapa cerita Dee pada Rectoverso yang menunjukkan sisi orisinalitasnya yakni pada cerita "Aku Ada" yang menceritakan dimensi lain setelah kehidupan yang sejatinya masih ada, serta "Firasat" yang menampilkan sisi lain dalam jiwa seseorang, yakni ada beberapa orang yang 'diwarisi' perasaan tajam yang merupakan indikasi suatu kejadian.

Secara fisik, Rectoverso memiliki tampilan yang menarik terlebih setelah edisi terbaru diproduksi. Baik dari cover maupun layout  Rectoverso telah sesuai dengan konten cerita. Namun dari segi penjilidan, buku Rectoverso tidak memiliki kualitas yang baik. Hanya selang beberapa hari setelah pembelian, satu per satu jilidan buku terlepas sehingga kertas berceceran. Hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan pembaca.

Secara keseluruhan, Rectovesro layak untuk dibaca namun dengan catatan tambahan bahwa pembaca harus diatas 18 tahun karena terdapat satu cerita yang berjudul "Cicak di Dinding" dengan isi cerita yang sedikit 'dewasa'. Rectoverso merupakan paket lengkap sebuah buku, cocok untuk pembaca yang sedang butuh entertain dari sebuah buku.








Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Buku seharusnya mengingatkan kita kepada langit dan mega, kepada kisah dan keabadian, melupakan aku pada pisau dan tali, melupakan kepada bunuh diri
~ Soebagio Sastrowardojo, Sastrawan

Hari minggu, 12 November 2017 Forum Lingkar Pena mengadakan pertemuan ketiga kalinya. Tema pertemuan kali ini adalah "Resensi Buku dan Film" bersama Kang Usup Supriyadi meskipun dalam pembahasan lebih banyak pemaparan mengenai resensi buku dibandingan film. Kang Usup memaparkan contoh-contoh resensi dari sumber-sumber ternama seperti basabasi.co. Contoh peresensi yang telah terkenal berdasarkan hasil resensinya yakni Ulil Ansor.

Pembukaan dari Kang Usup mengenai gambaran resensi telah cukup mengantar pramuda FLP Bogor angkatan 10 untuk melihat sekilas mengenai definisi resensi. Secara definitif, resensi merupakan penulisan kembali apa yang telah diserap dan memberikan komentar. Secara bahasa resensi berarti melihat kembali, menimbang, dan menilai.

Kang Usup menjelaskan bahwa dalam penulisan resensi perlu diperhatikan hal-hal diantaranya yang pertama adalah judul resensi yang dipilih berbeda dengan judul buku. Yang kedua adalah Kartu Tanda Buku (KTB) yang wajib ada di setiap resensi. Yang ketiga yakni kalimat pembuka, dimana diperlukan kutipan yang menarik atau bisa berisi latar belakang penulisan buku. Yang keempat adalah isi bahasan yang merupakan inti dari ulasan resensi yang berisi kekurangan dan kelebihan buku. Yang kelima adalah penutup yang merupakan kesimpulan mengenai kelayakan buku tersebut untuk dibaca. Sedangkan resensi film pada dasarnya memiliki teknik yang sama dengan resensi buku.

Pada akhir sesi, Kang Usup memberikan waktu kepada Pramuda FLP Bogor angkatan 10 untuk melakukan resensi buku yang telah dibawa sebelumnya. Peserta Pramuda dengan antusias melakukan resensi buku yang selanjutnya akan diulas dan dikoreksi oleh Kang Usup.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kisah Yusuf yang penuh tantangan. Hidupnya dihujani dengan fitnah dan ujian. Saudara yang tak mengiginkannya, digoda oleh perempuan istri Tuannya, sampai dipenjara karena dosa yang sejatinya tak pernah Yusuf lakukan.
Cerita Nabi Yusuf yang abadi tertulis nyata di dalam Al-Qur'an yang agung merupakan kisah paling baik sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Hari minggu, 5 November 2017 Forum Lingkar Pena mengadakan pertemuan kedua kalinya. Tema pertemuan kali ini adalah "Ayo Menulis Fiksi" bersama Ibu Sih Wikan. Ibu Sih Wikan merupakan seorang yang ahli di bidang fiksi khususnya cerpen dan novel. Terbukti, Ibu Wikan telah berhasil menulis sebuah buku dengan judul Cinta Haramain.

Berbagai teknik menulis terutama menulis cerpen dipaparkan. Mulai dari teknik-teknik dasar menulis cerpen hingga motivasi untuk mengembalikan tujuan awal dalam penulisan cerpen, yakni menyampaikan pesan baik dan Qur'ani. Beberapa tips agar cerita yang ditulis menjadi menarik diantaranya yang pertama adalah memilih konflik yang dilatarbelakangi oleh riset yang mendalam dan kekinian. Yang kedua adalah menggunakan kalimat pembuka yang menarik, sehingga pembaca tidak merasa bosan di awal cerita. Yang ketiga adalah menggunakan logika cerita dengan masuk akal, dengan begitu cerita akan terasa lebih nyata. Yang keempat adalah menyampaikan nilai-nilai atau amanan, inti dari sebuah cerita yakni nilai-nilai yang disampaikan. Yang kelima adalah memilih ending yang tak tertebak agar cerita membekas di hati dan pikran pembaca.

Ibu Wikan memberikan tantangan kepada pramuda FLP angkatan 10 untuk menulis cerpen secara mendadak menggunakan plot yang telah ditentukan. Dua karya terbaik akan dipilih dan diberikan reward langsung dari Ibu Wikan berupa buku hasil karangannya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sonde terpekik ketakutan. Suara gesekan sayap jangkrik terdengar dari penjuru utara dan selatan. Tubuhnya dibungkus seresah daun kering warna coklat dan ranting-ranting rapuh. Gatal. Seluruh badannya gatal. Ia menggaruk seluruh bagian badan mulai dari punggung, betis, lutut, telapak kaki, dan lengan. Ia merasakan cairan menyentuh ujung jemari. Pekat warna merah. Perlahan perih menjalari lengan bagian atas sebelah kiri. Luka yang menganga membentuk goresan taring besar.

Sonde menggigil sembari menyapu pandang barangkali pemilik taring masih berada di sekitar. Ia sadar tak seharusnya berkeliaran di belantara seperti ini. Meninggalkan kampungnya yang tenteram dan memilih hidup menggelandang. Hidup tanpa papan sangat mengancam keamanan jiwa. Semalam Sonde ingat betul bagaimana ia memanjat pohon penuh percaya diri dengan membawa temali dan beberapa potong kayu untuk bermalam. Mentakaburi alam bahwa hidup di alam tak sesulit yang orang bilang. Sesampainya di atas pohon, Sonde disengat makhluk marah. Segerombolan semut api muncul dari lubang kecil di balik pohon. Seluruh permukaan kulitnya menjadi santapan amarah. Ia melepaskan pegangan erat dan melucur ke bawah. Bebas. Lalu tak sadarkan diri. Kepalanya terantuk tanah.

Seonggok daging selama satu malam penuh meringkuk tanpa gerak. Sangat mudah bagi karnivor-karnivor berperut kosong untuk menjadikannya makan malam. Sungguh Sonde beruntung. Hanya lengan atas nya yang tergores taring besar. Namun ia tetap waspada. Sekelebat Sonde melihat bayangan bergerak dari balik pohon. Bayangan itu semakin terasa, namun tak kunjung mendekat batang hidungnya. Mungkin saja harimau, atau singa yang lapar. Sonde memberanikan dir sekaligusi menahan perih melangkah ke balik pohon dengan cepat.

Kosong. Hanya udara dan beberapa rontokan bulu berwarna coklat pudar. Melayang. Sonde memutari pohon sekali lagi. Pemilik bulu warna cokelat tua tetiba melata cepat. Sonde segera berlari menjauh. Seekor musang mencoba mendekati Sonde. Beberapa langkah lagi moncong musang menjilat ke arah luka lengan kiri Sonde. Secepat kilat Sonde meraih apa saja di sekitarnya. Ranting pohon ia sambar. Lalu dihentakkan ke arah tubuh musang. Patah.

Sonde mengambil kayu lain yang lebih kokoh. Kayu bekas pohon yang roboh sebesar betis orang dewasa. Kepayahan Sonde mengangkatnya. Lalu membanting sekuat tenaga ke arah musang. Lihai musang menghindar. Sonde merasa dicela. Lukanya terasa semakin ngilu. Ia kini dirasuki hasrat pembalasan dendam atas sakit yang dirasakan. Sekali lagi Sonde mengangkat bongkahan kayu dan berdebam. Mengenai punggung musang. Tetapi musang masih melenggang walau pincang. Sonde membuang kayu tersebut ke sembarang arah. Dan menyambar batu segenggaman tangan. Meluncur pesat tanpa hambatan. Kencang. Keras. Tepat mengenai batok kelapa musang. Musang tergeletak. Nafasnya tersengal lewat mulut. Lalu habis.

Sonde mendekat. Sembari memegangi lengan kirinya. Ia terkekeh. Menggoyang-goyangkan badan musang. Ada tiga gores sayatan di perut bagian bawah. Seperti darah berumur semalam. Musang tak bernyawa. Sonde jongkok mengamati mulut musang yang terbuka. Membandingkan besar taring musang dan goresan taring lukanya. Tak sama.

***
Suara berdebam keras mengagetkan seekor musang yang tengah berjalan mencari biji kopi matang warna merah. Musang memeriksa sumber suara. Seorang manusia jatuh dari ketinggian pohon dan tak sadarkan diri. Kulitnya memerah terkena sengatan semut api. Dari kejauhan terdengar suara endusan binatang kelaparan. Malam saat yang tepat untuk mengisi perut binatang hutan. Musang awas mengamati sekitar.

Satu ekor anjing liar datang dari hutan bagian dalam. Mulutnya penuh air liur. Matanya berbinar menemukan seonggok daging segar tak sadarkan diri. Anjing mendekat dengan rakus. Musang mendorong badannya dengan moncong. Anjing terpelanting. Musang mencakar. Anjing menggigit. Namun musang menghindar gesit. Anjing mendekat ke arah manusia yang tiada sadarkan diri, menggigit lengan sebelah kiri dengan penuh nafsu. Belum sampai tertelan dagingnya, musang kembali bangkit. Mencakar punggung anjing. Anjing terpekik kesakitan. Anjing membalas dengan mecakar tepat di bagian perut musang. Darah segar menetes. Musang membalas, ia membabi buta mencakar dan menggigit seluruh bagian tubuh anjing. Anjing mundur pincang. Kembali ke hutan dalam.

Musang mengatur nafas, melirik manusia yang terluka lengan kirinya. Ia mengambil tempat tak jauh. Terjaga dan menjaga sepanjang malam. Takut-takut jika bahaya lain datang mengancam.

 

 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kalau berat maka letakkan saja. Letakkan saja dimanapun kau suka. Mungkin almari pojok ruangan. Atau di atas ayunan yang bergerak sendirian. Atau meja bekas makan.

Bisa jadi esok hari nenek temukan isinya ketika membuka almari. Mencari sepasang selendang dan penutup kepala. Dan tak sengaja menyentuhnya. Dan jatuh. Terbuang. Hilang.

Bisa jadi esok hari segerombolan anak beradu kepemilikan ayunan. Tak ada yang mau mengalah. Dan ayunan terbalik. Terkuburnya ia dalam-dalam. Di bawah pasir. Lenyap.

Bisa jadi esok hari ibu ikut membersihkannya bersama kotoran piring dan gelas bekas makan pagi. Dan membuang seresah bersama ia ke dalam tong. Menjadi sampah. Dan musnah.

Kemanapun. Sungguh kemanapun. Ia sangat berat hebat membebat. Kusebutnya: Hati yang sedang jatuh.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ujung romansa yang tumpul
Setiap hari diasah oleh sebatang besi yang rapuh
Retak
Retak
Tukang pandai pun menjadi menjadi iba
Besi selanjutnya dan selanjutnya

Mengapa tak disulut saja dengan api?
Aku ada tungku
Dan kau talu-talu biar runcing
Supaya mengiris-iris hati
Jadi sepotong
Sepotong lainnya hilang
Dijadikan tumbal agar kisahnya tak mengekor

Biar terang
Biar tenang
Share
Tweet
Pin
Share
10 comments
Ketika jatuh cinta

Selayaknya aku punya dua kacamata. Yakni kacamata perasaan dan kacamata logika.
Jikalau kamu hanya punya salah satunya, maka runyam urusan ini. Berkelindan seperti maling. Hilang sembunyi. Hilang sembunyi. Tak akan pernah selesai.

Kacamata perasaan.
Semua orang tahu bagaimana kepayangnya orang jatuh cinta. Gunung bagaikan pantai. Kucing dikira tikus. Dan serangkaian perumpamaan tak wajar lainnya. Aku telah masuk pada suatu kotak imajinasi. Yang kulipat dan kubungkus rapih. Tak ada orang yang sudi memasuki. Kecuali aku yang sedang mabuk. Bergulat dengan imajinasi yang lama kelamaan membuatku lumpuh. Sarafku sementara terpotong. Maka aku putuskan untuk menggunakan kacamata ini seperlunya saja. Atau aku akan diselimuti ketidakwarasan lainnya.

Kacamata logika.
Urusan jatuh cinta ini begitu mudah sekali. Tuan waktu mengambil banyak kepentingan. Serahkan segala urusan padanya. Selesai sudah urusan ini. Tuan waktu hanya mensyaratkan untuk menghapus segala bentuk ketidakpentingan. Baik itu dalam bentuk pertemuan nyata atau maya.  Maka aku putuskan untuk menggunakan kacamata ini sesering mungkin. Hingga tercerabut sudah perasaan. Lenyap. Hilang.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kalau saja pada malam itu yang datang kepada Langit Pekat adalah Bintang. Maka sungguh tak diragukan. Langit seraya dengan mudah menjatuhcintai Bintang. Semudah cahaya Bintang melewati celah retina mata Langit. Bukan karena Bintang dengan kemilaunya menyihir Langit. Bukan. Bukan karena Bintang dengan kepopuleran sehingga menjadi elu-eluan penduduk langit ketika malam. Bukan.

Tetapi karena Bintang datang disaat yang tepat.

Kalau saja pada malam itu yang datang kepada Langit Pekat adalah Bulan. Maka sungguh tak diragukan. Langit seraya dengan mudah menjatuhcintai Bulan. Semudah cahaya Bulan melewati celah retina mata Langit. Bukan karena Bulan dengan sinar sendunya meluluhkan persaan langit. Bukan. Bukan karena Bulan dengan kepopuleran malam sehingga menjadi elu-eluan penduduk bumi ketika malam. Bukan.

Tetapi karena Bulan datang disaat yang tepat.

Tapi sayang, saat itu bukan keduanya yang menjadi pilihan Langit Pekat. Tapi seorang gadis kecil yang duduk memeluk lutut diatas rumah. Memperhatikan Langit Pekat dengan takzim.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Waktu menjadi tuan segala penyembuhan
Termasuk yang sedang layu dimakan perasaan

Sebut saja aku

Ketakutanku hanya ketika
Persatu daun yang mereka bilang logika
Layu
Gugur
Hanyut dibawa air

Yang tersisa tinggal perasaan
Dan remah-remahnya yang sungguh melankoli

Hingga saat itu tiba
Maka berbahaya
Hatiku terancam terbang melayang
Dibawa ketidakwarasan

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Teruntuk air yang sedang menuju anak sungai
Nasib kita sama
Sekuat apapun deras aliran
Kita tak akan bisa
Sungguh tak akan bisa
Memilih aliran yang mengantarkan kita ke anak sungai impian
Menuju sungai besar, laut, lalu ke samudera
Nihil

Bagiku sama
Sudah ku bilang nasib kita sama
Aku juga tak bisa memilih
Manusia mana yang dijatuhcintai
Sekuat apapun mengiba pada semesta
Namun jika bukan dia orangnya
Hatimu tetap menjadi milikmu
Hingga yang tepat datang
Dan kau diam
Tiba-tiba hatimu hilang
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Malam cepatlah datang. Biar hawa dingin, dan pekat menjadi satu kalimat. Lantas aku baca dan orang lain kuminta bersautan seperti burung burung berkicau. Aku temui keesokan harinya, mereka menjadi paragraf yang lengkap.

Aku sombong merangkai kalimat yang digantung gantung malam. Sedangkan kalimat di jiwaku belum utuh. Mereka bercecer cecer saling menggandeng tanda tanya. Perihal cara nya menggenapi. Duhai, aku tak terbilang genap. Benar benar masih ganjil.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Sebuah godam menghujam jiwa. Bunyinya menggema sampai ke penjuru semesta. Lantas aku melantunkan elegi yang menyayat hati. Membumbui gelisah agar ia menjadi-jadi. Tentang hari ini yang kutemui adalah sepasang embun dan pagi yang bahagia. Sekelompok mega dan senja yang bersukacita.

Seumpama bumi adalah kertas dan hujan adalah tinta. Maka izinkanlah aku berkisah dengan pena, beruntai untai cerita. Ada gadis yang cemburu menyaksikan alam begitu mesra.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Siapa maharaja yang sudi merapatkan layar di bibir pantai Negeri Hampir Terkoyak?

Mungkin udara. Aku tak sengaja mendengar pembicaraannya dengan ombak. 

Tentang apa?

Tentang sedih. Yang ia peluk.
Mungkin hatinya sedang rombeng, atau pincang. Dan wajahnya patah. Berbulan bulan ia menelan sembilu dari lidah perempuan gemuk yang nyinyir. Bibirnya diplintir-plintir.

Lalu?

Udara pergi membawa pesakitan yang bertubi-tubi. Dadanya bergemuruh. Ia bersumpah serapah kepada perempuan yang tak pagi-siang-malam selalu membuka aib. Maka udara serasa makhluk paling penuh dosa. Ia dituding prasangka-prasangka.

Lalu?

Udara pergi melarikan diri. Kemari. Menikmati hari tanpa perempuan jahat yang hatinya gelap sangat pekat. Meskipun ia sebaiknya memeriksa peta kembali. Karena ini negeri tak sentausa. Negeri Hampir Terkoyak.

Lalu?

Sudahlah. Kau ini banyak tanya! Kau pikir aku ombak?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Seharusnya musim hujan telah berakhir. Digantikan terik terik kemarau dan daun gugur yang meranggas. Tapi nampaknya hujan rakus, merajai siklus. Bisakah hujan berhenti? Memberi kesempatan kepada matahari yang sedang mencemburui.

Kalau hujan mau tahu, akan ku ajak ia bersamaku.  Menyaksikan daun pohon mangga yang berserakan. Air hujan warna cokelat yang menggenang di pekarangan. Comberan yang meluap karena mampat.

Dan menyaksikan Bapak mengintip hujan dari balik jendela. Diam.

Aku pun juga. Berkelahi dengan puluhan tanda tanya. Yang bertanya. Apa yang sedang Bapak pikirkan di hari hujan?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Selamat datang wahai pembaca arah mata angin.

Perkenalkan ia Nyonya bulan yang datang dari langit petang. Menawarkan jiwanya sebagai kawan kepada jiwa mu yang sepi. Dikeringkan kemarau, dikerontangkan pasir.

Biar ku dengar, ada rintih yang meringkih perih.  Perihal kamu yang tak tahu kapan berhenti. Tentang kamu yang sendiri. Memeluk sunyi.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Semak belukar mengamit ranting ranting patah. Badai lebat mengamuk. Ayah menangis sebab genteng rumah kami sedang melayang seperti pesawat kertas. Diombang ambing ke langit utara lalu ke selatan. Pias pias wajah tetangga menyiluet takut yang menjadi jadi. Perlahan menumbuhkan khawatir di mata ibu, adik, dan kakek.

Aku juga khawatir.

Bukan pada rumahku yang akan terbang. Tapi pada kamu yang selalu kutanyai sampai saat ini. Tentang: apakah kau baik-baik saja?

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments

Terik menjadikanku tepat melampiaskan ketidaksukaan. Ada yang datang ke telinga samping kiri dan mengancam menenggelamkan separuh badanku dengan keringat

Semua orang pernah marah

Dan aku memuja kalimat itu bak mantra pemakluman. Yang bertahan berhari hari persis di dada sebelah kiri.

Kiri menjadi tempat orang menyebut datangnya setan. Hari ini jiwaku menentukan arah. Kiri menjadi satu satunya tujuan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Menjadi dingin diantara satu dan dua api yang galak adalah keinginan yang kuserahkan
Pada hujan kemarin sore yang menahan semua orang agar tak kemana mana
Juga cukup untuk menahanku berteduh di bawah kenangan yang sebelumnya telah sempurna kulupakan

Aku kecewa ternyata hujan tak turun untuk meluruhkan perih
Hujan meyemai hidup dan kenangan berupa rupa tumbuh jadi khayalan

*feel free to comment*

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Semua orang sibuk
Maka aku mengajak bicara bangku taman
Yang tumpah oleh karat

Pernahkah ada sepasang manusia yang dimabuk cinta mengutarakan hati di atas bangku ini?
Apa yang mereka katakan?
Apakah mereka bermesra saling mengalah agar pantas dikatakan "aku lah yang paling mencinta disini"

Omong kosong

Hatiku menolak tipu tipu
Dan segala jenisnya

Undanglah Tuan Waktu
Biarkan ia berbicara dengan bijak
Tentang cinta yang lama kelamaan, tetapi perlahan dimakan lapuk
Dibawa angin

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Setelah bulan bulan terakhir ini
Aku tak lagi menyaksikam senja menjadi oranye
Hanya gelap lalu hilang

Sore ini
Senja yang indah
Menjadi oranye
Dan menjadi mega

Aku menemukan magis
Yang mengajakku kembali ke masa lalu
Pulang ke rumah
Bertemu kawan kawan
Menyapa Kucing kesayangan

Sore ini aku menemukan senja Menyerahkan diri untuk kunikmati
Ia diantar angin semilir
Menggoyangkan pucuk pucuk pohon

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Hari ini hujan rintik. Tapi aneh saat matahari pada waktu yang sama masih bersinar.
Siapa yang bersandiwara? Matahari atau hujan?
Matahari yang berpura pura menjadi hujan atau sebaliknya?
Semua manusia tenang saja, karena adegan saat langit bersandiwara hanya sebentar
Semesta mengakui bahwa sandiwara adalah bentuk yang melelahkan
Mengelabuhi hati seumpama membiarkannya tersumbat. Tak bisa bernafas. Tak bisa bergerak.
Dipengap topeng

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Aku tak kemana mana
Jika aku berpikir aku telah melanglangbuana
Tapi aku tak kemana mana

Aku tak kemana mana
Hanya pikiranku yang kubiarkan berjalan jalan
Ia mengira telah mengelilingi dunia,
tapi tidak
Aku masih tak kemana mana

Dan aku bercerita bangga tentang perjalananku
Kepada kamu,
semua orang yang kutemui

Mengisahkan bahwa sangkaan ku,
aku pergi ke berbagai tempat
Nyatanya aku tak kemana mana

Ya, aku disini
Mendekam di sudut kamar

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Setelah lama lama menggali bukit
Lama sekali
Satu sekop dua sekop

Dan semenjak hari itu
Harapanku tinggi sekali
Naik ke langit langit

Namum setelah jari jariku terluka
Dikikis debu dari batu
Dan aku kira hampir aku selesai menggali bukit
Nyatanya, tumpul
Ini Bukit Batu


Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kosong
Sepi
Habis
Sudah
Nol
(0)

Ujar kolom komentar di sekian puluh atau ratus (?) blog ini
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Masih di jalan yang sama
Dia punya teman-teman yang membagikan bekal
atau menawarkan sapu tangan
Dia punya kawan yang baik hatinya
Atau minimal sekadar 'ada'

Lalu kau?
Kau satu-satunya duri di gulungan marshmello
Api di tengah hujan
Bunga di atas gurun
Pasir di permukaan laut
Kayu di dalam abu
Tangis diantara pesta

Sendiri

Kata paling menyedihkan yang pernah kau dengar
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Jalanan panjang sekali
Lurus tak berkelok-kelok
Tak ada warung kopi atau pom bensin di sepanjang jalanan ini
Karena memang tak ada tepi
Jalanan tak bertepi
Atau hanya aku yang sengaja memakai kacamata kuda?
Aku tak punya kanan kiri

Dan jangan sekali-kali kau pernah kemari
Ini jalanan yang sengaja mengiris urat nadi
Mencekik leher
Kalau kau ingin hidup yang manis,
disini adalah perjalanan larangan nomor satu yang harus kau hindari

Tapi jika kau telah terbiasa bermandi keringat dan tangis
dan juga kegelisahan
Mungkin esok atau minggu depan kau boleh berkunjung kemari
Karena jalanan ini diperuntukkan bagi dia yang sedang berlari

Namanya Jl. Meraih Mimpi
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Namanya Ratu Rumput
Ia hidup di bawah sembunyi yang tak ia lakukan
Namun apalah daya, ia hanya segaris rumput
Ditengok pun tidak
Paling hanya menjadi semak yang dimandikan pestisida
Lalu mati

Suatu hari pernah ia pergi ke kota
Berjalan jauh menginjak aspal dan menghirup knalpot
Memperkenalkan diri bahwa ia tak layak dipengap sembunyi
Ia sudah tak tahan

Namun saat ia berada di tengah rambu-rambu jalanan yang ramai
Tepat matahari di poros langit
Tak sepasang mata pun sudi mengarahkan pandang
Apalagi tangan yang bersedia menjabat

Ratu Rumput diantar sedih melewati trotoar
Ia masih membawa sembunyi yang tak ia lakukan
Seumpama sembunyi adalah permen karet yang melekat di rambut
Semakin lama semakin erat
Semakin ditarik semakin mencekat

Meski Ratu Rumput berusaha memenggal sembunyi dari hidupnya
Nampaknya ia takkan pernah bisa,
karena 'sembunyi' adalah nama belakangnya
Ratu Rumput si Sembunyi

Ratu Rumput, dia kawanku
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Harapan yang besar tentang sebuah pertemuan. Seperti pertemuan sungai dan air terjun. Jatuh bergemericik menumpahkan keriangan sempurna. Tapi tiba tiba air terjun landai. Seumpama perosotan anak anak TK. Alam pun diam menyekap gemericik air.

Katamu aku anak TK dari dulu. Bergelayutan kesana kemari. Malas diajak berbincang. Kosong. Umur membela harga diri. Tapi umur pula tiba tiba pergi membawa gengsi.

Harapan tentang kebisaanku dan kebisaanmu. Menjadi ketakbisaanku dan hanya kebisaanmu. Jiwa milik sendiri menodong nodongkan pisau tuntutan. Yang datang entah dari mana. Secepat angin.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Alkisah ada sebatang tanaman apel yang kesal setengah mati. Selama bertahun tahun buahnya tak kunjung muncul. Sekalipun muncul, beberapa hari kemudian buah tersebut mengerut, kering, dan jatuh ke tanah.

Batang tanaman apel bersumpah serapah pada tanah yang kini ditumbuhinya. Tanah busuk. Tanah terkutuk. Semua kalimat buruknya meluncur deras dan menggila. Tanaman apel memutuskan pergi mencari tanah lain yang lebih subur. Lantas apel apel warna merah merekah muncul di sela sela daunnya.

Di sebelah tanaman apel pemarah ini, tumbuhlah tanaman apel lain. Ia mati-matian menahan tanaman apel pemarah untuk tetap tinggal.

"Ini musim paceklik sobat. Wajar saja kalau apel kita tak tumbuh." ujarnya menenangkan.

"Musim paceklik macam apa? Bertahun tahun pula! Tanah ini yang payah. Tanah pembawa sial!" Sumpah serapahnya kembali berkicau.

"Bertahanlah sebentar lagi sobat!" Tanaman apel pemarah tak menghiraukan. Menganggap kalimat kawannya sebagai bualan belaka.

Ia pun angkat kaki. Berkelana ke seluruh negeri. Sekiranya ia menemukan tanah yang cukup subur, ia pun tinggal sebentar. Menikmati haranya. Menyeruput airnya. Namun telah berhari-hari, buah apel tak kunjung muncul. Ia pun pergi mencari tanah lain sembari megucapkan sumpah serapah untuk ke sekian kali. Tanah lainnya sama pula, hanya menjadi singgah tanpa menumbuhkan buah apel nya.

Ia terus berkelana. Persatu daun tanaman apel pemarah gugur di terpa angin jalanan. Akarnya kering terpapar matahari dan panas suhu siang. Batangnya pun mulai retak karena lelah. Naas, ia mati tergeletak di tengah jalan.

***

Kawan tanaman apel pemarah dengan setia menunggu di tanah asalnya. Benar. Musim paceklik perlahan sirna. Hujan mulai turun. Suhu menjadi sejuk. Sekali dua kali embun turun membasahi daun. Buah apel pun muncul malu. Lalu seiring waktu tumbuh membesar dan mengkilat merah.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Waktu ini membuatku bingung. Matahari persis di perpotongan ujung bumi. Mungkin senja. Mungkin pula pagi. Mungkin kepalaku yang perlu diotak atik membenarkan letak matahari. Barat untuk tenggelam. Timur untuk terbit. Mungkin bisa. Tapi mata angin berantakan arahnya. Selatan dan utara juga hilang dari ingatanku. Mungkin pula ini hanya mimpi. Bunga tidur yang muncul dari rasa kantuk berat hebat membebat. Mungkin pula imajinasi lelahku seharian memelototi diktat.

Mungkin. Dan berkali kali "mungkin" jadi tumbal ke tidakpastian. Aku juga mungkin menyebutnya di depan kata yang tak ingin kusebutkan. Atau untuk menyembunyikan kebodohan. Atau bisa jadi "mungkin" adalah simbol keengganan berpikir. Iya, mungkin saja.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Demikian. Demikianlah angin terbang. Berputar putar kemana saja yang ia sukai. Angin juga berputar dalam dadamu. Menghasilkan gemuruh yang berdeham. Jiwamu diguncang angin. Dan sedih sekali.

Lalu kamu bercakap mengiba pada angin. Memintanya membawamu pada sahabatmu yang dulu. Angin boleh membawamu terbang. Atau semilir. Atau badai sekalipun. Kamu tak peduli. Yang penting sampai.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Badai mengaduk aduk kota. Menerbangkan atap rumah dan menumbangkan pohon. Kami semua gemetaran menyaksikan dari kejauhan. Lantas bergegas pegi sebelum angin sampai disini.

"Ayo cepat pergi!" Kataku menarik pergelangan tanganmu.

"Kau duluan."

"Kau pikir ini adegan film? Ini bencana kawan! Ayo pergi!"

"Aku sedang menyaksikan percakapan kita malam tadi."

"Apa maksudmu? Aku tidak sedang ingin bernostalgia."

"Berpura puralah menjadi air. Aku juga akan berpura pura menjadi angin." Aku menunjuk udara. "Argumen yang kemarin kau bela mati matian, apa masih hidup? Bawa dia kemari. Hadirkan dia disini."

"Apa maksudmu?"

"Kemarin kau mematahkan argumenku kawan. Lalu menaikkan argumenmu sendiri tinggi tinggi. Lalu aku lagi membalas tajam dengan argumenku. Lantas kau tak terima. Lantas kau hancurkan argumenku kembali. Kau agungkan argumenmu lagi seolah olah kau raja dan aku hambamu." Kau menerwang jauh. Badai semakin dekat.

"Sudahlah. Apa yang kau maksudkan?"

"Meskipun aku terlihat meyerah. Tapi semalaman utuh, hatiku ramai sekali. Menyerangmu habis habisan."

*berlanjut

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ombak sepertinya tak pernah berhenti berambisi mengikis pantai. Berdebur pecah menghantam karang. Tapi entah mengapa pantai tak pernah berpindah. Ia tenang di bibir laut. Mengucapkan selamat datang berkali-kali pada ombak.

Puisi ini bukan dalam rangka menyudutkan ombak dan ambisinya. Hei, kau tak pernah tau bukan?
Sejatinya ombak hanya ingin bertemu pantai. Dengan caranya sendiri.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Aku benci setiap bait puisimu. Membuatku meremas kertas puisimu dan membuangnya di ujung jalan. Bukan di tempat sampah. Tapi di selokan. Lalu hanyut bersama air bekas cucian, air bekas mandi, sampah kertas yang lain, sampah ranting, makanan sisa, tikus mati.

Aku benci setiap bait puisimu. Karena di dalamnya tak pernah ada aku.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Nenek renta bertudung itu naik pitam. Urat lehernya yang keriput semakin menekuk.

"Ilmu itu bukan beban hebat maha membebat Nak." Ia berusaha mengendalikan nafas. "Tugas kita hanya belajar dengan bahagia. Soal hasil, biar Yang Diatas yang bekerja."

Aku kembali memeluk buku-buku yang membalas pelukanku.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Masih saja. Masih saja api merindukan surga. Api menitip pesan kepada gemercik air. Tapi Pesan tak juga berucap. Api terlanjur menjadi asap sebelum bercuap cuap. Dipeluk tetes tetes air.

Api cemburu pada air. Ia naik ke langit. Berbelok ke arah surga. Bergemericik mengalir menentramkan hati. Sementara api, ia membelot. Harus kah ia pergi ke neraka?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Pesanan kembang apiku yang berwarna biru tak pernah sampai. Lelaki di perempatan jalan bilang tak menjualnya. Aku tahu dia bohong. Kemarin sore anak perempuan tetanggaku menyalakan kembang api. Percikannya berwarna biru. Sama dengan warna langit. Ia tersenyum menggodaku. Pamer.

Sudah ku bilang aku suka kembang api warna biru. Biru berarti langit. Doa doaku dan kawanku tertampung di langit. Doaku tentang mimpi, orang tua, keluarga, sahabat, guru, kawan, tanah air, bumi.

#catatan akhir tahun yang ditulis awal tahun

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Tentang Saya

Penulis yang suka main kata-kata. Cek juga hasil pikiran otak kiri saya di linisehat.com

Follow Us

  • instagram
  • Google+
  • youtube

Categories

  • Cerita Aneh (8)
  • Fiksi (5)
  • Pendapat (26)
  • Puisi (8)

recent posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2023 (3)
    • ►  Juni 2023 (1)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  Maret 2023 (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (2)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  April 2021 (2)
    • ►  Maret 2021 (1)
    • ►  Februari 2021 (1)
  • ►  2020 (30)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (6)
    • ►  Juli 2020 (9)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (5)
  • ►  2019 (19)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  September 2019 (2)
    • ►  Agustus 2019 (3)
    • ►  Juni 2019 (5)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (29)
    • ►  Desember 2018 (3)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (6)
    • ►  September 2018 (4)
    • ►  Agustus 2018 (6)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (4)
  • ▼  2017 (44)
    • ▼  Desember 2017 (10)
      • Cek Makanan Kemasan Anda
      • Reportase 7 (Media Online)
      • Mengharap Tangan Ringan Para Konglomerat
      • Apa Kabar Indonesia?
      • Memimpikan Dramaga Anti Macet
      • Reportase 5 (Jurnalistik)
      • Reportase 4 (Skenario Film dan Teater)
      • Kisah Antarmuka
      • Reportase 3 (Resensi Buku dan Film)
      • Reportase 2 (Cerpen dan Novel)
    • ►  November 2017 (1)
      • Musang Rimba
    • ►  Oktober 2017 (6)
      • Meletakkan Hati
      • Menghilangkan Jejak
      • Dua Kacamata
      • Saat yang tepat
      • Ketidakmungkinan
      • Sajak Paling Melankoli
    • ►  April 2017 (2)
      • Kalimat
      • Godam
    • ►  Maret 2017 (8)
      • Kapal
      • Hujan
      • Nyonya Bulan
      • Khawatir
      • SEBELAH KIRI
      • Dingin
      • Mati Rasa
      • Magis Senja
    • ►  Februari 2017 (7)
      • Langit Bersandiwara
      • Tak Kemana Mana
      • Bukit Batu
      • Komentar
      • Sendiri
      • Jl. Meraih Mimpi
      • Sembunyi
    • ►  Januari 2017 (10)
      • Harapan
      • APEL PEMARAH
      • Mungkin
      • Angin
      • Percakapan
      • Ambisi Ombak
      • Puisi Sampah
      • Belajar
      • Api
      • Kembang Api
  • ►  2016 (49)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (3)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (13)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (10)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  Maret 2016 (11)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (19)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (5)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (1)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  Juli 2014 (1)

Created with by ThemeXpose