APEL PEMARAH

Alkisah ada sebatang tanaman apel yang kesal setengah mati. Selama bertahun tahun buahnya tak kunjung muncul. Sekalipun muncul, beberapa hari kemudian buah tersebut mengerut, kering, dan jatuh ke tanah.

Batang tanaman apel bersumpah serapah pada tanah yang kini ditumbuhinya. Tanah busuk. Tanah terkutuk. Semua kalimat buruknya meluncur deras dan menggila. Tanaman apel memutuskan pergi mencari tanah lain yang lebih subur. Lantas apel apel warna merah merekah muncul di sela sela daunnya.

Di sebelah tanaman apel pemarah ini, tumbuhlah tanaman apel lain. Ia mati-matian menahan tanaman apel pemarah untuk tetap tinggal.

"Ini musim paceklik sobat. Wajar saja kalau apel kita tak tumbuh." ujarnya menenangkan.

"Musim paceklik macam apa? Bertahun tahun pula! Tanah ini yang payah. Tanah pembawa sial!" Sumpah serapahnya kembali berkicau.

"Bertahanlah sebentar lagi sobat!" Tanaman apel pemarah tak menghiraukan. Menganggap kalimat kawannya sebagai bualan belaka.

Ia pun angkat kaki. Berkelana ke seluruh negeri. Sekiranya ia menemukan tanah yang cukup subur, ia pun tinggal sebentar. Menikmati haranya. Menyeruput airnya. Namun telah berhari-hari, buah apel tak kunjung muncul. Ia pun pergi mencari tanah lain sembari megucapkan sumpah serapah untuk ke sekian kali. Tanah lainnya sama pula, hanya menjadi singgah tanpa menumbuhkan buah apel nya.

Ia terus berkelana. Persatu daun tanaman apel pemarah gugur di terpa angin jalanan. Akarnya kering terpapar matahari dan panas suhu siang. Batangnya pun mulai retak karena lelah. Naas, ia mati tergeletak di tengah jalan.

***

Kawan tanaman apel pemarah dengan setia menunggu di tanah asalnya. Benar. Musim paceklik perlahan sirna. Hujan mulai turun. Suhu menjadi sejuk. Sekali dua kali embun turun membasahi daun. Buah apel pun muncul malu. Lalu seiring waktu tumbuh membesar dan mengkilat merah.

You May Also Like

0 comments