Mengharap Tangan Ringan Para Konglomerat
Sang Pemberi Bukan Saudagar Kaya
Memberi tak harus menunggu kaya. Hanya butuh sepotong hati yang baik. Sama halnya dengan yang dilakukan seorang pedagang anakan kelinci di jalanan dramaga. Bukan pedagang besar, toh hanya pedagang jalanan yang membawa 8-10 kelinci anakan.
Dapat ditebak berapa uang yang ada di kantongnya, sebab tak seorangpun mampir dan membeli dagangannya. Semua orang berlalu lalang. Hanya sekilas melirik dan pergi. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Tatkala seorang renta lewat di depan pedagang kelinci anakan, sang pedagang mengenggam 3-4 koin receh. Menyelipkan ke tangan seorang renta, meskipun ia sendiri tak bernasib lebih baik.
"Ini nek, buat nenek."
Sekilas terlihat kejam. Kemana manusia-manusia kaya, sementara yang miskin harus mengasihi yang miskin pula. Uang mereka yang tak banyak berpindah tangan kepada sesama yang tak berpunya. Dari kantong tipis ke kantong tipis. Siklusnya berputar.
Saudagar kaya sibuk di TV
Bapak sibuk membagi-bagikan dana kepada rekan sejawat. Lantas ia menulis serangkaian adegan yang tersusun rapih untuk mengelabuhi mata negara. Sepertinya Bapak lupa negara tak lagi dalam kungkungan kebodohan. Perlahan kami menjadi pintar.
Trilyunan rupiah beterbangan. Masuk ke kantong yang sudah gembung. Kantong yang salah alamat. Kartu identitas masyarakat lama sekali jadinya. Orang bilang sistemnya akan diperbaiki, terintegrasi. Tapi sampai sekarang yang digenggam hanya kartu identitas mati. Belum diperbaharui.
Bapak sekarang sering muncul di TV. Dengan tuduhan sebagai kepala pembagi-bagi "rezeki". Tapi Bapak dan pengacara membela diri. Bapak selalu bilang tidak tahu.
0 comments