• Home
  • About
  • Puisi
  • Pendapat
  • Cerita Aneh
instagram Email

Pangeran Kucing

Jurnal Harian dan Kata-kata Bualan

Harapan yang besar tentang sebuah pertemuan. Seperti pertemuan sungai dan air terjun. Jatuh bergemericik menumpahkan keriangan sempurna. Tapi tiba tiba air terjun landai. Seumpama perosotan anak anak TK. Alam pun diam menyekap gemericik air.

Katamu aku anak TK dari dulu. Bergelayutan kesana kemari. Malas diajak berbincang. Kosong. Umur membela harga diri. Tapi umur pula tiba tiba pergi membawa gengsi.

Harapan tentang kebisaanku dan kebisaanmu. Menjadi ketakbisaanku dan hanya kebisaanmu. Jiwa milik sendiri menodong nodongkan pisau tuntutan. Yang datang entah dari mana. Secepat angin.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Alkisah ada sebatang tanaman apel yang kesal setengah mati. Selama bertahun tahun buahnya tak kunjung muncul. Sekalipun muncul, beberapa hari kemudian buah tersebut mengerut, kering, dan jatuh ke tanah.

Batang tanaman apel bersumpah serapah pada tanah yang kini ditumbuhinya. Tanah busuk. Tanah terkutuk. Semua kalimat buruknya meluncur deras dan menggila. Tanaman apel memutuskan pergi mencari tanah lain yang lebih subur. Lantas apel apel warna merah merekah muncul di sela sela daunnya.

Di sebelah tanaman apel pemarah ini, tumbuhlah tanaman apel lain. Ia mati-matian menahan tanaman apel pemarah untuk tetap tinggal.

"Ini musim paceklik sobat. Wajar saja kalau apel kita tak tumbuh." ujarnya menenangkan.

"Musim paceklik macam apa? Bertahun tahun pula! Tanah ini yang payah. Tanah pembawa sial!" Sumpah serapahnya kembali berkicau.

"Bertahanlah sebentar lagi sobat!" Tanaman apel pemarah tak menghiraukan. Menganggap kalimat kawannya sebagai bualan belaka.

Ia pun angkat kaki. Berkelana ke seluruh negeri. Sekiranya ia menemukan tanah yang cukup subur, ia pun tinggal sebentar. Menikmati haranya. Menyeruput airnya. Namun telah berhari-hari, buah apel tak kunjung muncul. Ia pun pergi mencari tanah lain sembari megucapkan sumpah serapah untuk ke sekian kali. Tanah lainnya sama pula, hanya menjadi singgah tanpa menumbuhkan buah apel nya.

Ia terus berkelana. Persatu daun tanaman apel pemarah gugur di terpa angin jalanan. Akarnya kering terpapar matahari dan panas suhu siang. Batangnya pun mulai retak karena lelah. Naas, ia mati tergeletak di tengah jalan.

***

Kawan tanaman apel pemarah dengan setia menunggu di tanah asalnya. Benar. Musim paceklik perlahan sirna. Hujan mulai turun. Suhu menjadi sejuk. Sekali dua kali embun turun membasahi daun. Buah apel pun muncul malu. Lalu seiring waktu tumbuh membesar dan mengkilat merah.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Waktu ini membuatku bingung. Matahari persis di perpotongan ujung bumi. Mungkin senja. Mungkin pula pagi. Mungkin kepalaku yang perlu diotak atik membenarkan letak matahari. Barat untuk tenggelam. Timur untuk terbit. Mungkin bisa. Tapi mata angin berantakan arahnya. Selatan dan utara juga hilang dari ingatanku. Mungkin pula ini hanya mimpi. Bunga tidur yang muncul dari rasa kantuk berat hebat membebat. Mungkin pula imajinasi lelahku seharian memelototi diktat.

Mungkin. Dan berkali kali "mungkin" jadi tumbal ke tidakpastian. Aku juga mungkin menyebutnya di depan kata yang tak ingin kusebutkan. Atau untuk menyembunyikan kebodohan. Atau bisa jadi "mungkin" adalah simbol keengganan berpikir. Iya, mungkin saja.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Demikian. Demikianlah angin terbang. Berputar putar kemana saja yang ia sukai. Angin juga berputar dalam dadamu. Menghasilkan gemuruh yang berdeham. Jiwamu diguncang angin. Dan sedih sekali.

Lalu kamu bercakap mengiba pada angin. Memintanya membawamu pada sahabatmu yang dulu. Angin boleh membawamu terbang. Atau semilir. Atau badai sekalipun. Kamu tak peduli. Yang penting sampai.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Badai mengaduk aduk kota. Menerbangkan atap rumah dan menumbangkan pohon. Kami semua gemetaran menyaksikan dari kejauhan. Lantas bergegas pegi sebelum angin sampai disini.

"Ayo cepat pergi!" Kataku menarik pergelangan tanganmu.

"Kau duluan."

"Kau pikir ini adegan film? Ini bencana kawan! Ayo pergi!"

"Aku sedang menyaksikan percakapan kita malam tadi."

"Apa maksudmu? Aku tidak sedang ingin bernostalgia."

"Berpura puralah menjadi air. Aku juga akan berpura pura menjadi angin." Aku menunjuk udara. "Argumen yang kemarin kau bela mati matian, apa masih hidup? Bawa dia kemari. Hadirkan dia disini."

"Apa maksudmu?"

"Kemarin kau mematahkan argumenku kawan. Lalu menaikkan argumenmu sendiri tinggi tinggi. Lalu aku lagi membalas tajam dengan argumenku. Lantas kau tak terima. Lantas kau hancurkan argumenku kembali. Kau agungkan argumenmu lagi seolah olah kau raja dan aku hambamu." Kau menerwang jauh. Badai semakin dekat.

"Sudahlah. Apa yang kau maksudkan?"

"Meskipun aku terlihat meyerah. Tapi semalaman utuh, hatiku ramai sekali. Menyerangmu habis habisan."

*berlanjut

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ombak sepertinya tak pernah berhenti berambisi mengikis pantai. Berdebur pecah menghantam karang. Tapi entah mengapa pantai tak pernah berpindah. Ia tenang di bibir laut. Mengucapkan selamat datang berkali-kali pada ombak.

Puisi ini bukan dalam rangka menyudutkan ombak dan ambisinya. Hei, kau tak pernah tau bukan?
Sejatinya ombak hanya ingin bertemu pantai. Dengan caranya sendiri.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Aku benci setiap bait puisimu. Membuatku meremas kertas puisimu dan membuangnya di ujung jalan. Bukan di tempat sampah. Tapi di selokan. Lalu hanyut bersama air bekas cucian, air bekas mandi, sampah kertas yang lain, sampah ranting, makanan sisa, tikus mati.

Aku benci setiap bait puisimu. Karena di dalamnya tak pernah ada aku.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Nenek renta bertudung itu naik pitam. Urat lehernya yang keriput semakin menekuk.

"Ilmu itu bukan beban hebat maha membebat Nak." Ia berusaha mengendalikan nafas. "Tugas kita hanya belajar dengan bahagia. Soal hasil, biar Yang Diatas yang bekerja."

Aku kembali memeluk buku-buku yang membalas pelukanku.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Masih saja. Masih saja api merindukan surga. Api menitip pesan kepada gemercik air. Tapi Pesan tak juga berucap. Api terlanjur menjadi asap sebelum bercuap cuap. Dipeluk tetes tetes air.

Api cemburu pada air. Ia naik ke langit. Berbelok ke arah surga. Bergemericik mengalir menentramkan hati. Sementara api, ia membelot. Harus kah ia pergi ke neraka?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Pesanan kembang apiku yang berwarna biru tak pernah sampai. Lelaki di perempatan jalan bilang tak menjualnya. Aku tahu dia bohong. Kemarin sore anak perempuan tetanggaku menyalakan kembang api. Percikannya berwarna biru. Sama dengan warna langit. Ia tersenyum menggodaku. Pamer.

Sudah ku bilang aku suka kembang api warna biru. Biru berarti langit. Doa doaku dan kawanku tertampung di langit. Doaku tentang mimpi, orang tua, keluarga, sahabat, guru, kawan, tanah air, bumi.

#catatan akhir tahun yang ditulis awal tahun

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Tentang Saya

Penulis yang suka main kata-kata. Cek juga hasil pikiran otak kiri saya di linisehat.com

Follow Us

  • instagram
  • Google+
  • youtube

Categories

  • Cerita Aneh (8)
  • Fiksi (5)
  • Pendapat (26)
  • Puisi (8)

recent posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2023 (3)
    • ►  Juni 2023 (1)
    • ►  April 2023 (1)
    • ►  Maret 2023 (1)
  • ►  2022 (6)
    • ►  Juni 2022 (1)
    • ►  Maret 2022 (1)
    • ►  Februari 2022 (2)
    • ►  Januari 2022 (2)
  • ►  2021 (5)
    • ►  November 2021 (1)
    • ►  April 2021 (2)
    • ►  Maret 2021 (1)
    • ►  Februari 2021 (1)
  • ►  2020 (30)
    • ►  November 2020 (2)
    • ►  Oktober 2020 (2)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Agustus 2020 (6)
    • ►  Juli 2020 (9)
    • ►  Juni 2020 (3)
    • ►  Mei 2020 (2)
    • ►  April 2020 (5)
  • ►  2019 (19)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  September 2019 (2)
    • ►  Agustus 2019 (3)
    • ►  Juni 2019 (5)
    • ►  Maret 2019 (3)
    • ►  Februari 2019 (2)
    • ►  Januari 2019 (1)
  • ►  2018 (29)
    • ►  Desember 2018 (3)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (6)
    • ►  September 2018 (4)
    • ►  Agustus 2018 (6)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (3)
    • ►  April 2018 (1)
    • ►  Maret 2018 (4)
  • ▼  2017 (44)
    • ►  Desember 2017 (10)
    • ►  November 2017 (1)
    • ►  Oktober 2017 (6)
    • ►  April 2017 (2)
    • ►  Maret 2017 (8)
    • ►  Februari 2017 (7)
    • ▼  Januari 2017 (10)
      • Harapan
      • APEL PEMARAH
      • Mungkin
      • Angin
      • Percakapan
      • Ambisi Ombak
      • Puisi Sampah
      • Belajar
      • Api
      • Kembang Api
  • ►  2016 (49)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  Oktober 2016 (3)
    • ►  Agustus 2016 (3)
    • ►  Juli 2016 (13)
    • ►  Juni 2016 (1)
    • ►  Mei 2016 (10)
    • ►  April 2016 (5)
    • ►  Maret 2016 (11)
    • ►  Februari 2016 (2)
  • ►  2015 (19)
    • ►  Desember 2015 (4)
    • ►  November 2015 (5)
    • ►  September 2015 (1)
    • ►  Agustus 2015 (1)
    • ►  Juli 2015 (2)
    • ►  Juni 2015 (2)
    • ►  April 2015 (1)
    • ►  Maret 2015 (2)
    • ►  Februari 2015 (1)
  • ►  2014 (2)
    • ►  Oktober 2014 (1)
    • ►  Juli 2014 (1)

Created with by ThemeXpose