Ekspektasi

Waktu kecil bagiku akan mudah mendaki gunung karena ukurannya hanya sejengkal tangan. Aku mengukurnya di kejauhan, berjarak bermil-mil bahkan dari lerengnya. Kupikir akan semudah mendaki gundukan pasir di depan rumah. Material milik tetangga yang sedang renovasi.

Tapi rupanya aku alpa sebab begitu banyak ekspektasi yang menari-nari sempurna di palung otak. Sementara jagadraya tak semudah itu. Ada banyak hirarki, konspirasi, dan tubi-tubi. Aku lupa segalanya. Mengesampingkan sebab musabab dan asal muasal.

Ukirannya telah dalam, telah sempurna mengerak menjadi prinsip yang dibenarkan. Akupun menghamba pada prasangka yang kutenun sendiri. Padahal belum ada kata seiya sekata dari makhluk lainnya. Apalagi takdir. Hal yang seringkali dilupa namun sesungguhnya ia yang menjadi maha penentu atas semua dan serba serbi.

Ekspektasi macam gula yang pasti manis dan garam yang pasti asin. Bukankah seharusnya tergantung se berapa banyak air yang diseduh atau mungkin aku menambahkan keduanya ke dalam kopi dengan takaran mili. Mana bisa kukecap manis atau asin. Pahit.

You May Also Like

0 comments