Satu hari di museum yang telanjang dan tiada didatangi orang-orang. Tuan marah-marah dan seluruh bingkai di dalamnya pecah. Semua lukisan lari tunggang langgang ke jalan raya dan ikut marah-marah ke pengendara motor, mobil, sampai tukang bensin. Kota jadi terbakar dan berubah warna-warni. Apalah kemarahan Tuan bikin walikota tambah senang karena membuat wilayahnya makin semarak.
Saat teriakan kecewa masih menggonggong di tenggorokan Tuan, anak-anak muda sibuk berswafoto mengabadikan keajaiban langka. Sebab tawanan museum yang cantik lepas dan mempersilakan diri dinikmati tanpa harus membayar ke loket tiket. Headline media menganugerahi Tuan dengan lencana sejarah dan jabatan istimewa.
Suara tuan parau dan nyawanya setengah mati menahan amuk. Di tengah kota diadakan pesta dengan genderang drum, denting piano, petik gitar. Ada biduan yang disewa menyanyi menggoda pemuda-pemuda yang lewat. Meskipun rakyat acap kali abai dengan pesta karena sibuk mengekor lukisan yang lepas kandang, seperti anak kecil yang menggandrungi arak-arakan tukang monyet.
Oh, Tuan. Museum telah dibuka kembali dan orang-orang menyaksikan pajangan satu-satunya dengan suka cita dan gemuruh tepuk tangan: Tuan yang malang segenap amarahnya.