Aku tahu kau ingin sekali menjadi sebilah pedang bermata dan berkaki. Kau utarakan suatu hari tepat saat matahari berhenti di punggung langit, keinginan yang tiada pernah masuk akal. Kau bersimpuh dan aku menyaksikan tangis muram dan bergetar seperti saat duka kematian dan pemakaman. Kupikir, siapa yang telah meninggalkan kau seperih ini.
Zaman sekarang tidak banyak pedang diperjualbelikan. Kau akan habis digunjing orang-orang sebab ada pedang hidup di tengah penduduk desa. Bisa-bisa kau diarak berkeliling karena berisiko membunuh dan mengancam nyawa. Kemudian aku tawarkan opsi lain, bagaimana jika menjadi pisau dapur saja? Setiap rumah tangga menyimpan rapi di rak piring masing-masing rumahnya. Kau aman, akan diasah dan dicuci sampai bersih. Dibawa ke kebun, depan teras, atau pesta hajatan masyarakat.
Kau mengumpat nyalak dengan kata-kata binatang. Menolak menjadi pisau dapur yang culun dan mengajakku pergi ke zaman lampau. Menyaksikan seorang algojo penghukum mati mengadili nyawa bagai Tuhan. Mengayunkan sebilah pedang tajam berpangkal tembaga ke leher manusia yang diperintahkan raja. Setelahnya ia bisikan "Tuhan mengampuni segala yang berdosa" ke telinga yang sudah lepas nyawa.
Sama, kata kau yang juga ingin menerkam jantung kekasih yang pergi dan mematahkan nyawa kau. Lalu berbisik tepat ke telinganya "Aku memaafkan segala yang bersalah".