Dahulu yang sangat ribu berkerumun dengan orang-orang saling adu bicara menebalkan otok tenggorokan sampai berbentuk pipa-pipa. Berbincang hingga pekat hangat sampai pekat dingin dan matahari terbit lagi. Suara bergaung-gaung memecah atap.
Kini dalam langkah yang dibatasi dan suara yang tak semenggema kemarin, bisakah kita dengar lirih tanda tanya atau pelan seruan yang selama ini tak nampak?
Maka sudahlah jika hari ini tak muncul pelangi dan hujan turun terlalu deras membuat becek pekarangan padahal tadi udara sama sekali tak berwarna abu-abu.
Maka sudahlah jika rambut keriting terlalu liat untuk disisir dan rambut lurus terlalu licin untuk diikat dan botak yang menyesal karena tukang pangkas telah salah pilih gunting.
Maka sudahlah jika terlalu banyak iklan di gawai yang tak penting mengganggu video yang diputar atau audio yang dilantunkan penyanyi tunggu saja benar detik lagi tak usah keluarkan otot merah di dahi.
Maka sudahlah jika yang direncanakan tak sesuai harapan tau salah menentukan pilihan atau terlalu lamban untuk memutuskan. Sudahlah.
Suatu persimpangan selalu membuat lelah karena berhenti. Memilah-milah yang mana yang berujung manis. Mana yang pahit. Mana yang masam. Mana yang ranum. Mana yang sepat.
Dan pada akhirnya sampai persimpangan dirubuhkan, dibuat jalan tol yang lebar. Lalu lalang satu jalan yang lengang cepat. Semua orang berbahagia menikmati perjalanan yang pintas, sementara si peragu tadi masih bertanya-tanya: persimpangan mana yang harus dipilih.
Menghadapi pandemi korona menyebabkan suatu ketakutan tumbuh. Pasalnya, ketakutan tersebut bersama-sama menyeruak saat ketakutan yang lain juga sedang mekar-mekarnya.
Suatu tempat disenangi karena tempat tersebut mampu menjadi ruang tumbuh, menyimpan kenangan, atau pengalih perhatian. Dan seketika manusia di dalamnya pindah ke tempat lain, makan wajar jika muncul rasa kehilangan atau kecemasan. Terlebih ketika ia pergi ke tempat lain yang lebih mengancam.