Malam yang tidak bisa tidur, padahal seharian sudah gelap. Dan dua buah kantung mata yang berat, enggan mengajak kelopak untuk merapat. Mana bisa, kemudian saya berdoa.
Tepat saya ingat doa-doa yang lalu diutarakan secara khusyu' dan serius. Sampai berderai-derai, sampai punggung yang ikut pula berguncang. Langit pasti mendengar. Langit pasti mendengar.
Dia percaya doa, begitu pun saya yang juga percaya hari ini datang. Dan pelukan kembali saya utarakan ke langit. Agar tidak terlalu dingin. Agar tak terlalu sakit.
Saya beberapa butir pasir yang pasrah pada ombak di bibir pantai. Apakah akan dihempas menjauh, atau diteguk mendekat. Selayaknya pasir saya tidak akan pernah meronta. Hanya berdoa.
Ramalan dan firasat keduanya tak baik untuk jiwa saya karena nyatanya selalu meleset. Setidaknya firasat terakhir tentang dia yang sangat pahit. Sampai-sampai saya tak mau minum kopi. Bolehkan hanya memesan teh manis saja?
Tetapi doa satu-satunya senjata yang menghidupi empat ruang jantung. Dan rongga-rongga otak agar tetap waras.
Mohon izin untuk selalu larung dalam doa.